Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi untuk pengurusan perkara di pengadilan terbilang terlambat. Status tersangka Nurhadi seharusnya disematkan bertahun-tahun lalu ketika dia masih aktif di Mahkamah.
Bau tak sedap sosok Nurhadi sudah tercium sejak dia masih menjabat Sekretaris Mahkamah pada 2012. Sebagai pegawai eselon I, gaji pokoknya hanya Rp 18 juta per bulan. Tapi, berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang ia serahkan ke KPK saat itu, Nurhadi mengaku punya kekayaan senilai Rp 33,5 miliar.
Konon harta sebanyak itu diperolehnya dari usaha sarang walet yang ia rintis sejak 1981. Namun total pendapatannya dari bisnis ini tak pernah tercantum jelas di laporan kekayaannya. Permintaan KPK agar laporan itu dilengkapi tak pernah ia gubris. Pengecekan wartawan Tempo ke Tulungagung, tempat Nurhadi mengaku punya banyak sarang walet, menemukan sebagian rumah walet di sana bukan milik Nurhadi. Sebagian besar bahkan sudah tidak beroperasi.
Sepak terjang Nurhadi terhenti berkat kepiawaian KPK mengendus kasus dugaan suap senilai Rp 46 miliar dari PT Multicon Indrajaya Terminal. Fulus sebesar itu disetor kepada Nurhadi untuk mengatur berbagai kasus perusahaan tersebut di Mahkamah. KPK tentu tak boleh berhenti pada kasus suap ini saja. Komisi antirasuah juga harus mengusut dugaan pencucian uangnya mengingat hingga kini Nurhadi tak pernah berhasil menunjukkan asal-muasal pendapatannya.
Petunjuk lain yang bisa ditelusuri adalah gaya hidup mewah Nurhadi. Dia pernah merombak kantornya dan membeli sendiri meja seharga Rp 1 miliar. Yang menghebohkan, ketika menikahkan putrinya di Hotel Mulia Senayan pada 2014, Nurhadi menghadiahkan iPod seharga Rp 700 ribu per buah kepada 2.500 tamunya, termasuk hakim dan pejabat publik.
Pada 2010, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga pernah mencurigai transaksi miliaran rupiah di rekening milik istri Nurhadi, Tin Zuraida, Kepala Pusat Pelatihan dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung. PPATK telah menyampaikan laporan itu ke KPK dan Kejaksaan Agung, tapi sampai kini kasus tersebut tak kunjung terang.
KPK harus terus menggali semua informasi itu dan mencermati ihwal hubungan Nurhadi dengan hakim agung, pejabat kejaksaan, dan aparat kepolisian. Kasus Nurhadi bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar sekelompok pencoleng yang selama ini telah berpesta-pora di dalam Mahkamah. Patut diduga mereka punya jaringan yang luas dan didukung orang-orang kuat. Itulah sebabnya hingga sekarang amat sulit membongkar komplotan mereka.
Masalahnya, KPK sekarang sedang dilemahkan dengan penerbitan Undang-Undang KPK yang baru. Di tengah situasi sulit ini, para penyidik Komisi tak boleh berputus asa. Mereka harus terus melaksanakan tugasnya, di tengah upaya banyak pihak menghalangi gerakan pemberantasan korupsi.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 18 Desember 2019