Aparat penegak hukum mesti menindaklanjuti temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ihwal penempatan uang Rp 50 miliar milik beberapa kepala daerah pada rekening kasino di luar negeri. Pengusutan asal-usul duit tersebut penting dilakukan untuk mengetahui apakah uang itu diperoleh dari hasil korupsi atau bukan. Penempatan di rekening luar negeri patut dicurigai dilakukan untuk menghindari pajak.
PPATK telah melacak uang milik beberapa kepala daerah yang disimpan dalam bentuk valuta asing tersebut. Penyimpanan uang pada rekening kasino adalah modus baru dalam pencucian uang. Pelaku dugaan tindak pidana korupsi biasanya menyimpan hasil kejahatannya di sejumlah lembaga keuangan. Dalam penelusurannya, PPATK menemukan aliran dana, yang diduga dari hasil korupsi, berada di 136 negara.
Untuk membuktikan adanya pencucian uang, penegak hukum tak perlu menunggu hasil penelusuran kejahatan asalnya (predicate crime) terlebih dulu, yang dapat memakan waktu dan belum tentu membuahkan hasil. Penyidik dapat melakukan terobosan dengan menggunakan asas pembalikan beban pembuktian atau lebih populer dengan istilah pembuktian terbalik. Kewenangan penyidik itu telah diatur dalam Pasal 72 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU). Penyidik dapat meminta pemilik rekening membuktikan uang yang mereka simpan itu halal atau tidak. Kalaupun duitnya sah, tetap perlu dibuktikan apakah uang itu sudah dilaporkan dalam daftar kekayaan sang kepala daerah.
Memerangi kejahatan pencucian uang semestinya tak sulit dilakukan setelah Undang-Undang PPTPPU memberi kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal-Polri, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan-untuk mengusut kejahatan tersebut. Setahun sebelumnya, Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga telah memberi kewenangan kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memproses perkara pencucian uang bila tindak pidana asalnya adalah korupsi.
Namun kewenangan tersebut belum dijalankan secara maksimal. Berdasarkan data yang dihimpun Indonesia Corruption Watch dan Transparency International Indonesia, dari 313 perkara korupsi yang ditangani KPK pada 2016-2018, hanya 15 perkara yang menggunakan dakwaan tindak pidana pencucian uang. Undang-Undang PPTPPU merupakan instrumen paling tepat untuk menjerat pelaku pencucian uang karena, dalam penanganan perkara korupsi dan pencucian uang, pengembalian aset negara secara maksimal adalah hal penting selain menghukum pelakunya.
Meski jarang digunakan dengan dalih melanggar asas praduga tak bersalah, pembuktian terbalik terbukti ampuh menjerat pelaku pencucian uang. Pada 2011, misalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Bahasyim Assifie 10 tahun penjara dalam perkara korupsi dan pencucian uang. Dengan pembuktian terbalik, hakim meminta bekas pejabat Ditjen Pajak itu membuktikan asal-usul hartanya. Bahasyim nyatanya tak dapat menjelaskan sumber hartanya. Bahasyim terbukti melakukan korupsi Rp 1 miliar dan mencuci uang Rp 64 miliar. Pada tahun yang sama, Mahkamah Agung menghukumnya 12 tahun seperti hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Tipikor. Sejak Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang diketok pada 2003, Bahasyim adalah terdakwa pertama yang divonis bersalah dalam perkara pencucian uang.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 17 Desember 2019