Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Selama ini Iran memandang Israel sebagai musuh utamanya di Timur Tengah. Setidaknya hal tersebut dinyatakan berulang-ulang oleh para petinggi negeri itu. Sebaliknya, Israel juga menganggap Iran sebagai sumber ancaman paling berbahaya bagi keamanan dan eksistensi Israel di kawasan. Bukan hanya sepak terjang Negeri Mullah yang dikhawatirkan Israel, tapi juga kapasitas teknologi militer negeri itu yang kian hari kian meningkat meski negeri itu ditekan embargo.
Di samping itu, kekuatan proksi Iran berada di wilayah yang sangat dekat dengan wilayah Israel, yang secara geografis sangat sempit. Hizbullah berada di Libanon Selatan, yang berbatasan langsung dengan wilayah Israel bagian utara. Rezim Assad, yang punya utang budi sangat besar kepada Iran, juga memiliki perbatasan cukup luas dengan wilayah Israel. Keduanya dianggap sebagai ancaman potensial bagi keamanan Israel. Bahkan kekuatan Syiah di Yaman, yang berada cukup jauh di selatan Israel, juga sesumbar mampu menghujani Israel dengan roket. Pada tingkat tertentu, Iran juga punya pengaruh terhadap Hamas, yang berada di Gaza dan merupakan ancaman sangat dekat terhadap wilayah Israel. Sangat beralasan jika Israel memandang Iran sebagai sumber ancaman paling berbahaya.
Faktanya, kendati bersitegang lama dan mengalami eskalasi berulang-ulang, catatan sejarah menunjukkan bahwa kedua pihak tak pernah berhadapan secara langsung di medan perang. Ketika negara-negara dan kelompok-kelompok bersenjata di Timur Tengah terlibat dalam berbagai konflik senjata, kedua negara itu juga tak pernah berhadap-hadapan secara langsung. Yang sering diberitakan hanyalah serangan udara Israel yang sangat terbatas terhadap kamp-kamp militer di Suriah yang diyakini sebagai kamp militer Iran atau logistik persenjataan berbahaya yang berasal dari Iran.
Eskalasi hubungan kedua negara sudah tak terhitung berapa kali terjadi. Dari serangan kata-kata para pemimpin kedua pihak yang menjurus brutal, saling ancam jika ada yang berani mulai menyerang, hingga yang lainnya. Beberapa pekan ini, kedua pihak juga terlibat saling pamer persenjataan canggih, terutama rudal jarak menengah dan jauh, untuk membangun sistem pencegahan. Pencegahan adalah usaha untuk mempengaruhi dan menggetarkan psikologi lawan sehingga lawan akan berpikir berkali-kali akan akibat yang ditimbulkan jika ia berani melakukan serangan.
Kedua pihak terus berupaya mempercanggih kemampuan persenjataannya. Riset-riset persenjataan terus digalakkan dan memperoleh perhatian besar dari pemerintahan kedua negara itu. Israel sangat memerlukan kemandirian dalam memproduksi persenjataan canggih. Bukan hanya demi kepentingan keamanan, tapi juga signifikan untuk kepentingan ekonomi dan memantapkan pergaulannya dalam hubungan antarnegara.
Kecanggihan pengetahuan tentang produksi senjata tentu akan menarik negara lain untuk berhubungan dengannya. Di tengah tekanan dan isolasi banyak negara, kemampuan Israel untuk memproduksi persenjataan canggih telah menempatkan negara itu sebagai pemain penting di forum internasional.
Bagi Iran, mempercanggih kemampuan persenjataan juga merupakan kepentingan yang sulit mereka hindarkan. Ambisi Iran untuk menjadi negara paling berpengaruh di kawasan dan dunia Islam mendorong negara itu berupaya mati-matian mengembangkan kemampuan persenjataan canggihnya kendati dalam tekanan hebat negara-negara Barat. Iran merasa harus memiliki kemampuan untuk membantu dan melindungi kepentingan sekutu-sekutunya, baik di Yaman, Suriah, Libanon, maupun Irak, dan lainnya. Kebetulan sekutu-sekutu Iran pada akhir-akhir ini memang sedang menghadapi tantangan militer yang besar.
Maka, perlombaan senjata antara Iran dan Israel memang sulit dihindarkan. Meskipun sejauh ini tak ada preseden kedua negara itu terlibat perang secara langsung, potensi terjadinya konflik militer secara terbuka di antara kedua pihak tentu tetap ada.
Jika berhadapan dengan Iran dalam perang terbuka, ancaman terhadap keamanan dan bahkan kelangsungan eksistensi Israel memang tak main-main. Hujan rudal bisa terjadi dari berbagai arah, baik dari Iran maupun sekutu-sekutu Iran.
Namun Iran juga tak akan bersikap gegabah untuk benar-benar melakukan aksi militer secara langsung terhadap Israel. Sebab, Israel adalah negara yang diyakini berkapasitas senjata nuklir sejak 1980-an. Hal inilah yang konon membuat negara-negara Arab ciut nyali dan berhenti melakukan langkah ofensif secara terbuka ke Israel. Hal ini pula yang konon mempengaruhi Anwar Sadat untuk datang ke Camp David guna menandatangani perdamaian historis Mesir-Israel (1979) yang sekaligus mengakhiri konfrontasi terbuka negara-negara Arab ke Israel.
Beberapa hari lalu, Israel memamerkan kemampuan rudal jarak jauh yang jelas mampu menjangkau wilayah Iran. Rudal itu juga diyakini mampu membawa senjata nuklir dalam kapasitas besar. Senjata nuklir sebenarnya sudah tak mungkin lagi digunakan untuk era sekarang, karena kehancuran yang ditimbulkannya benar-benar tak dapat diterima bagi kemanusiaan dengan alasan apa pun. Artinya, senjata nuklir tak layak digunakan. Namun, dalam situasi yang sangat kritis, senjata itu potensial menjadi pilihan terakhir untuk menghadapi lawan. Iran, bagaimanapun, sangat menyadari status Israel sebagai negara berkapasitas nuklir, kendati non-deklaratif. Pada titik inilah, saya yakin bahwa saling ancam di antara keduanya sepertinya tak akan berujung perang terbuka dan langsung dalam skala besar.