Sejari pisang ditempelkan di dinding sebuah galeri di Miami, Amerika Serikat, dan ditawarkan dengan harga 120 ribu dolar. Buah itu bagian pameran seni rupa Art Basel di pertengahan Desember lalu. Si pisang diberi judul Comedian oleh pemasangnya, Maurizio Cattelan, mungkin setelah ia beli di sebuah supermarket dengan harga 20 sen.
Toh pisang/seni di Art Basel itu laku. Ia sudah bikin orang heboh. Apalagi ketika seorang seniman lain muncul dan tanpa izin mencopotnya dari lakban yang merekatnya, lalu menggigit dan menelannya. Yang dilakukannya, katanya, juga sebuah karya seni performance dengan judul "Seniman Lapar"….
New York Post memberitakan peristiwa itu dengan judul "Art World Gone Mad".
Gila ataupun tidak, kejadian itu menghidupkan lagi pertanyaan setua dua abad: inikah tanda "seni" tak ada lagi-sudah mati?
Kabar kematian itu dikatakan bermula dari Hegel, filosof besar Jerman itu, ketika ia memberikan kuliah di Berlin di awal tahun 1830-an. Perdebatan yang timbul umumnya melupakan, Hegel sebenarnya hanya menyatakan bahwa baginya, di zaman modern, seni sudah tak lagi memenuhi kebutuhan rohani. Seni tak lagi tampil sebagai "representasi dari yang mutlak", Darstellung des Absoluten.
Saya kira Hegel mengatakan begitu karena tauladan yang dipakainya adalah kesenian klasik Eropa. Ia tak kenal ikebana Jepang, ia tak tahu apa yang disebut Sanento Yuliman "seni rupa rendah", misalnya karya tenun dan ukir di Indonesia. Bagi Hegel, seni punya panggilan yang luhur: seperti agama dan filsafat, seni menemukan dan mengungkapkan makna yang tersirat dalam hal-ihwal di dunia yang datang dan pergi, secara kebetulan atau bertentangan. Tapi tugas yang luhur itu kini "jadi bagian masa lalu", kata Hegel, menyesalkan.
Sejak itu banyak yang mengulang, meskipun tak persis, statemen "akhir-seni" Hegel. Ketika di tahun 1964 kritikus terkemuka Amerika Arthur Danto datang ke sebuah pameran di Stable Gallery di New York dan melihat karya Andy Warhol, ia juga kemudian berbicara tentang "The End of Art".
Yang ia lihat kotak sabun "Brillo" dari tripleks, berukuran 43,3 x 43,2 x 36,5 cm, yang dipajang Warhol. Kotak itu, seperti kotak sabun umumnya, tak lahir dari tangan seorang maestro. Ia bisa dibikin berkali-kali oleh tukang mana pun. Tak ada yang unik dan kekal seperti Mona Lisa Da Vinci. Tapi ia telah jadi karya "seni" karena dihadirkan dalam pameran seni rupa, direstui kurator dan pemilik galeri.
Danto mungkin terperangah, dan kesimpulannya seperti Hegel: kita hidup di masa "pasca-sejarah-kesenian". Para pembikin seni (art-makers) menghasilkan karya-karya yang praktis tak punya makna dan bobot sejarah. Di tahun 2008 sang kritikus menilai karya seni rupa kontemporer "sedang menuju ke tujuan yang entah".
Tapi itukah akhir seni?
Pisang Maurizio Cattelan membantah. Ia bahkan bisa dilihat sebagai penegas bahwa seni telah beranak-pinak, kawin dengan bermacam elemen alam dan budaya, hingga kita tak kenal lagi siapa melahirkan apa, apa pula awalnya-kalaupun ada awal yang tunggal. Pada gilirannya kita juga tak kenal apa sebenarnya yang disebut "seni" -kalaupun ada "seni" yang satu.
Pernah di Eropa ada konsensus: yang disebut "seni" adalah karya-karya yang ditahbiskan Académie des Beaux-Arts di Prancis yang didukung Negara.Konsensus itu mengurung kehidupan seni dan menghambat eksplorasi kreatif memasuki ekspresi baru. Tertekan, pada 1884 para seniman membentuk Société des Artistes Indépendants. Di sini siapa pun bisa disebut "seniman". Syaratnya hanya bayar iuran tahunan (yang murah) kepada perkumpulan itu. Apa yang kemudian disebut "democratization of genius" pun marak. Demarkasi jebol. Hegemoni guncang. Penjelajahan artistik dan intelektual melaju.
Salah satu klimaksnya dalam "kejadian" Duchamp. April 1912, perupa Prancis yang pernah disejajarkan dengan Picasso ini memasukkan sebuah sentoran kencing bikinan pabrik ke sebuah pameran seni rupa di New York. Ia ingin menguji apakah para seniman yang menyelenggarakannya konsisten menginginkan demokratisasi seni dan terbuka untuk penjelajahan kreatif yang seluas-luasnya.
Sentoran kencing itu ia beri judul Fountain dan ditandatanganinya dengan nama "R. Mutt".
Barang itu ditolak. Tapi justru sebab itu ia membuat sejarah.
Pada tahun 1940-an, Duchamp memaklumkan Fountain adalah karyanya. Sambutan terhadapnya menunjukkan ia diterima sebagai pendorong-seakan-akan dengan energi yang terbarukan-gerak lanjut pembebasan kreatif yang sudah berlangsung dengan Kubisme di awal abad ke-20 dan seni avant-garde Rusia di awal 1920-an. "Keindahan" ditinggalkan. Seni hidup bukan untuk dan karena "keindahan", melainkan karena menghadirkan, dan menggerakkan, apa yang tak disangka-sangka.
Dan semua berubah sampai ke dasar. George Brecht, dari gerakan seni rupa Fluxus, memaklumkan: "Apa saja bisa jadi karya seni dan siapa pun bisa melakukannya."
Tapi demokratisasi dalam menentukan dan menilai seni sebenarnya bermasalah. Dalam praktiknya, seniman, kurator, pemilik galeri, kolektor, dan pembahas berinteraksi dan berkembang jadi semacam rezim. Dalam rezim itu, setelah kejadian Duchamp, bukan mutu karya, melainkan ide yang jadi penentu. Pisang di Miami, sebuah benda yang akan segera busuk, dihargai bagaikan jimat semata-mata karena ia hasil ide-baik dari Cattelan maupun dari rezim yang menahbiskannya.
Dengan kata lain, apa itu "seni", kenapa ia istimewa, kenapa ia berubah dari barang 20 sen jadi benda senilai 120 ribu dolar, itu tak lahir dari jerih payah tangan dan pancaindra seorang perupa. Hegel benar: seni berakhir karena di zaman modern telah "ditransfer ke dalam ide kita". Ia bukan lagi bentuk fisik, warna, tekstur. Ia konsep.
Dalam Das Kapital Marx memperkenalkan kata "fetisisme komoditas", ketika sebuah benda yang diperjualbelikan berkeliling mempesona orang, seakan-akan lahir ajaib tanpa tenaga kerja manusia. Dari pisang/seni Miami kita bisa berbicara yang sama, dengan variasi kecil: "Aku berpikir (dan hanya berpikir), maka seni ada. Aku terkesima, maka seni berharga."
Goenawan Mohamad