Syarifah Namira Fitrania
Peneliti CReco Research and Consulting
Inklusivitas merupakan aspek yang perlu beresonansi di setiap arah pembangunan, termasuk dalam reindustrialisasi dan pembangunan sumber daya manusia. Mengingat 50 persen penduduk usia kerja Indonesia adalah perempuan, diversitas gender dalam industri manufaktur dapat diandalkan untuk memicu peningkatan produktivitas dan menyelesaikan isu kurangnya pasokan pekerja dengan kualifikasi keahlian yang sesuai. Perempuan yang berkeahlian dan mampu merangkul transformasi digital dapat memacu keberagaman perspektif dalam pembuatan keputusan dan kreativitas dalam pemikiran strategis sehingga berujung pada kemampuan berinovasi yang lebih baik.
Setidaknya terdapat dua tantangan untuk mencapai hal tersebut. Pertama, 33 persen perempuan Indonesia bekerja di sektor perdagangan dan 27 persen di sektor pertanian, dua sektor dengan produktivitas relatif rendah dan komposisi pekerja informal lebih dari 65 persen. Transformasi struktural memang berhasil menggiring perempuan keluar dari sektor pertanian. Meskipun demikian, alih-alih diserap oleh industri, perempuan banyak diserap oleh sektor jasa yang bernilai tambah rendah sehingga pengaturan khusus untuk menarik perempuan ke sektor manufaktur perlu diberikan.
Kedua, jika dibandingkan dengan pekerja laki-laki, perempuan di industri manufaktur kurang responsif terhadap perubahan teknologi. Meskipun Indonesia 4.0 terbilang prematur, intensitas penggunaan teknologi telah memacu pergeseran struktur pekerja manufaktur. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, profesi ahli teknik dan teknisi di industri manufaktur meningkat 3,5 hingga lima kali lipat. Selain itu, lebih dari 75 persen peningkatan kebutuhan industri akan ahli teknik dan teknisi diisi oleh pekerja laki-laki, baik di industri padat karya maupun industri dengan intensitas teknologi yang lebih kompleks.
Sementara itu, pekerja produksi, meskipun secara total masih mendominasi manufaktur, hanya bertambah sebesar 0,7 persen dari total penciptaan kerja pada kelompok ahli teknik dan teknisi. Memang total jumlah pekerja produksi masih bertumbuh, tapi pekerja produksi laki-laki mengalami penurunan. Perempuan, dengan demikian, menyokong permintaan pekerja produksi industri. Sedikitnya jumlah perempuan yang mengisi profesi yang banyak dibutuhkan industri dan karakteristik pekerja produksi, yang merupakan pekerjaan rutin, membuat jurang keterampilan antara perempuan dan laki-laki terlihat nyata.
Gema agenda peningkatan partisipasi perempuan dalam ekonomi digital perlu diiringi agenda peningkatan jumlah perempuan lulusan science, technology, engineering, art, math (STEAM) dengan kemampuan kognitif dan literasi yang baik. Ibarat rantai pasokan, di samping berfokus pada aktivitas pasca-produksi, seperti jasa perdagangan, perhatian yang besar juga perlu diberikan pada peningkatan kapasitas pra-produksi, seperti penelitian dan desain produk, agar keranjang produksi dapat berkembang dan adaptif terhadap tren. Semakin banyak perempuan yang tak hanya siap kerja, tapi juga siap latih merupakan berita baik untuk Indonesia.
Kolaborasi pemerintah, pelaku industri, dan komunitas diperlukan dalam persiapan, rekrutmen, dan pengembangan pasokan pekerja perempuan siap latih dan berketerampilan untuk reindustrialisasi. Namun perlu ditekankan pentingnya penerimaan bahwa perempuan tidak dapat terlepas dari tanggung jawab gandanya di kantor dan di rumah tangga, sehingga diperlukan pendekatan yang sedikit berbeda.
Ada beberapa opsi insentif yang dapat dilakukan. Pertama, memberikan berbagai kemudahan skema pembiayaan pendidikan bagi perempuan untuk jurusan yang sesuai dengan permintaan industri. Kedua, kreativitas skema pengaturan kerja yang menawarkan fleksibilitas untuk menarik dan mempertahankan perempuan di manufaktur, mengingat perkembangan Internet dapat mengakomodasi sektor lain untuk memfasilitasi keseimbangan kerja-hidup dengan lebih baik. Ketiga, memberikan insentif dengan menurunkan biaya yang timbul dari keputusan kerja perempuan, seperti penyediaan day care dengan biaya terjangkau dan jaminan kesehatan.
Keempat, pengaturan yang lebih bersifat persuasif, seperti mempertemukan sosok perempuan yang berhasil di manufaktur dengan mahasiswi untuk berbagi pengalaman dan aspirasi, mengingat role model memiliki signifikansi tersendiri bagi generasi muda. Namun, untuk membawa lebih banyak perempuan ke tingkat ini, diperlukan kesetaraan peluang bagi laki-laki dan perempuan dalam program pengembangan karier, termasuk evaluasi yang transparan dan imbal jasa yang adil.
Program pelatihan dan pelatihan ulang juga termasuk agenda pengembangan pekerja. Di samping penyediaan jaring pengaman sosial, penyelarasan program cash for training pemerintah dengan pengembangan perempuan industri dapat menjadi opsi jalan keluar ketika industri merasa terbebani.
Jiwa dari setiap revolusi industri dari masa ke masa terletak pada pembangunan manusia. Teknologi itu sendiri pada dasarnya diciptakan oleh dan untuk manusia. Program untuk memangkas jurang keterampilan, membangkitkan minat perempuan akan industri manufaktur, dan memastikan mereka dapat berpartisipasi dengan setara dalam transformasi digital dan pembangunan Indonesia perlu dimasukkan ke agenda reindustrialisasi.