Anis Hidayah
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE
Ketuk palu hakim ketua Indra Cahya pada 3 Desember 2019 mengakhiri proses persidangan perdagangan manusia yang digelar sejak 8 Agustus lalu. Pelakunya adalah Abdul Halim alias Erlangga, dan korbannya adalah EH. Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang memvonis pelaku dengan penjara 11 tahun, denda Rp 200 juta, dan membayar restitusi kepada korban sebesar Rp 138.635.000 merupakan sejarah dalam penegakan tindak pidana perdagangan manusia di Indonesia.
Menurut catatan Migrant CARE, vonis itu merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah penegakan hukum atas kasus perdagangan manusia di Indonesia. Dalam persidangan, pelaku mengaku telah lama menempatkan buruh migran ke luar negeri secara ilegal untuk meraup sejumlah keuntungan. Dia dapat meraup keuntungan hingga Rp 20 juta dari setiap buruh. Dia juga selalu dibantu oleh calo di desa, yakni Hayati, dan pihak yang memiliki jaringan internasional, yaitu pasangan suami-istri Hasan dan Fitri, yang lebih banyak tinggal di Timur Tengah. Hayati, Hasan, dan Fitri saat ini masuk daftar pencarian orang di kepolisian dalam kasus yang sama.
Vonis di atas memberi harapan baru bagi korban perdagangan manusia, yang selama ini banyak menimpa buruh migran perempuan. Apresiasi yang sama juga patut disampaikan kepada jaksa dan kepolisian yang menangani kasus ini. Vonis berat terhadap pelaku kejahatan ini harus menjadi momentum dalam penegakan hukum atas kejahatan perdagangan manusia.
Sepanjang 2018, kepolisian menerima 297 laporan kasus perdagangan manusia. Mayoritas korbannya adalah perempuan dan 49,5 persen modusnya ialah penempatan buruh migran. Selama ini, buruh migran perempuan memiliki kerentanan untuk dijadikan korban. Contohnya EH, yang hanya lulusan madrasah dan tak berdaya atas bujukan calo di desanya untuk bekerja di Arab Saudi. Dalam proses perekrutan, keluarga EH mendapat Rp 5 juta dikurangi Rp 1 juta yang merupakan utang korban kepada calo. Tak jarang calon buruh migran terjebak dalam jeratan utang yang sengaja ditebar oleh sindikat kejahatan ini.
Prosedur ilegal dan perlakuan yang tak manusiawi nyaris diterima EH sepanjang perjalanannya menuju negara yang nyata-nyata tidak aman dan dilarang menjadi tujuan buruh migran saat ini. Total 22 hari lama perjalanan EH sejak meninggalkan rumahnya untuk sampai ke Suriah. Di Suriah, EH diterima oleh perusahaan Corner to Corner. Di sana, seorang anggota staf asal Indonesia, Fitri Hedriani, mengurungnya dan terus-menerus menyiksa korban. EH bahkan bekerja selama tiga bulan tanpa gaji.
Akhirnya, EH berani memutuskan untuk melarikan diri ke Kedutaan Besar RI di Damaskus. Namun EH justru dikembalikan lagi ke agen asalnya oleh Abdul Kholik, staf Kedutaan. Dia kemudian dikirim ke Irak. Di Irak, EH bekerja dari subuh hingga tengah malam dan beberapa kali diperkosa oleh anak majikannya sampai hamil. Ketika ia memberi tahu majikannya, sang majikan hanya memberi uang tutup mulut sebesar US$ 100. EH menolak dan meminta dipulangkan ke Indonesia, tapi majikannya menolak karena merasa telah membelinya dengan mahal.
Akhirnya EH dikembalikan ke agensi. Dia meninggalkan rumah majikannya bersama teman sesama buruh migran asal Filipina. Rekannya lalu menghubungi Kedutaan Filipina di Irak, yang kemudian menghubungkannya dengan SEED Foundation, lembaga swadaya masyarakat di Irak. EH dan temannya lalu didampingi oleh SEED melapor ke polisi.
Pertengahan Februari lalu, EH dipulangkan ke Indonesia dengan difasilitasi oleh SEED dan KBRI di Irak. Selama dua bulan, EH mendapat perlindungan dan konseling di rumah aman Kementerian Sosial. Perlu dicatat, selama proses penyidikan kasus ini, korban banyak menerima tekanan dari pihak-pihak yang terlibat dalam sindikat perdagangan manusia, hingga akhirnya dia mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Kasus EH semestinya menjadi pelajaran penting dalam pemberantasan kejahatan perdagangan manusia dan tata kelola migrasi di Indonesia. Leluasanya calo dalam merekrut calon korban menjadikan desa seolah-olah pasar terbuka untuk kejahatan ini. Karena itu, desa sebagai wilayah pertama sasaran sindikat harus memiliki perlindungan yang memadai.
Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi) dan Desa Migran Produktif (Desmigratif), yang telah dibangun di sekitar 400 desa, sangat strategis untuk melindungi perempuan dari ancaman sindikat ini. Inisiatif tersebut mesti terus dikembangkan di semua desa yang menjadi asal buruh migran. Selain itu, pendidikan kritis bagi calon buruh migran perempuan tentang perdagangan manusia dan risiko lainnya perlu terus diperkuat sebagai gerakan bersama melawan kejahatan perdagangan manusia dari akar rumput.
Vonis hakim di Pengadilan Negeri Tangerang semestinya dapat dijadikan yurisprudensi untuk semua kasus perdagangan manusia di Indonesia dalam penegakan hukum yang berkeadilan bagi korban.