Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Pemerintah DKI Jakarta, melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), berniat merealisasi kebijakan jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP). Tujuan utamanya adalah mengurangi tingkat kemacetan di jalan-jalan utama Jakarta. Tujuan lainnya adalah agar pengguna jalan raya bisa beralih menggunakan moda transportasi publik, seperti moda raya terpadu (MRT), Transjakarta, ataupun kereta. Penerapan ERP akan dilakukan pada jalan-jalan di sekeliling Jakarta, terutama yang berbatasan dengan kota lain, seperti Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dengan begitu, kendaraan pribadi dari luar Jakarta yang melintasi jalan ini akan dikenai biaya.
Sebenarnya rencana ERP bukanlah hal baru di pelataran pengambil kebijakan DKI Jakarta. Ketika Ibu Kota dipimpin oleh Sutiyoso, pada sekitar 2006, rencana serupa juga dimunculkan. Dia ingin memberlakukan sistem ERP terhadap para pemilik mobil pribadi yang melintas di jalur Blok M-Kota. Pertimbangannya kala itu adalah kebijakan "3-in-1" sudah tidak efektif mengurangi kemacetan. Namun rencana tersebut batal karena harus menunggu tujuh koridor Transjakarta beroperasi efektif lebih dulu.
Rencana ERP berlanjut ke gubernur berikutnya, Fauzi Bowo. Fauzi bahkan mendapat tawaran teknologi dari negara lain, termasuk Q-Free dari Norwegia. Sistem ini kabarnya mampu menurunkan waktu tempuh sebesar 30 persen dan polusi 20 persen di Stockholm. Tak pelak, Foke-panggilan populer Fauzi-mengangkat lagi rencana pemberlakuan ERP di Jakarta, paling cepat pada 2010. Tapi target itu pun tak tercapai.
Tak mau putus asa, DKI lalu menargetkan kembali ERP diterapkan pada pertengahan 2012. Namun lagi-lagi rencana ini gagal, meskipun Wakil Presiden Boediono sempat turun tangan dan menugasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Hasilnya masih jauh dari harapan pemerintah.
Foke kemudian menyerahkan masalah tersebut ke penerusnya, yaitu Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Keduanya tetap tak berhasil mewujudkan ide ini dan terpentok di masalah yang sama.
Lepas dari masalah-masalah tersebut, ada beberapa hal fundamental yang perlu dipertimbangkan oleh DKI. Pertama, jalan-jalan tersebut adalah barang publik, yang dibangun dengan pajak rakyat alias bukan menggunakan uang investor. Jadi, agak kurang etis jika solusi kemacetan justru menggunakan konsep yang justru kurang kompatibel dengan kodrat jalan tersebut.
Artinya, jalan publik berbayar bisa menjadi kebijakan diskriminatif, yang hanya memberikan prioritas kepada pengguna jalan raya yang mampu dan mau membayar. Dengan kata lain, nilai barang publik pada jalan tersebut tergerus oleh nilai komersial, yang penerima untungnya adalah pemerintah sebagai pemungut penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan operator MRT, Transjakarta, serta kereta sebagai pelaku bisnis transportasi.
Kedua, dengan relasi demikian, kebijakan publik tersebut adalah juga kebijakan bisnis, yang dominan dengan niat "berbisnis atau mencari untung" di atas jalan publik ketimbang niat "pelayanan publik" untuk mengurangi kemacetan. Dalam kacamata lain, kebijakan tersebut justru menjadi tindakan penyalahgunaan otoritas oleh pemerintah daerah DKI, ketika barang publik yang dibangun dan dipelihara dengan uang pajak justru dikomersialkan atas nama pengurangan kemacetan.
Ketiga, butuh penyesuaian yang sangat jelas dan eksplisit agar yang terkena dampak bukan masyarakat umum, terutama kelas menengah ke bawah. Pembatasan penggunaan jalan umum di Jakarta, atau dari dan ke Jakarta, tidak melulu akan mengenai pemilik kendaraan, tapi juga pengguna kendaraan pribadi untuk mendapatkan penghasilan, terutama di era disrupsi transportasi saat ini.
Bahkan kebijakan tersebut bisa kontraproduktif terhadap kebijakan Kementerian Perhubungan yang ingin mengurangi biaya logistik. Kendaraan ekspedisi atau kendaraan pembawa barang dari dan menuju Jakarta akan dikenai biaya tambahan, yang justru akan menambah biaya distribusi mereka. Begitu pula dengan bisnis transportasi online, yang biasanya kemudian akan membebankan biaya tambahan kepada penumpangnya.
Keempat, dengan taraf hidup yang jauh lebih rendah dibanding masyarakat Hong Kong, Stockholm, Singapura, ataupun Inggris, efek yang timbul tentu akan jauh lebih menyakitkan bagi masyarakat Jakarta. Artinya, jangan meniru kebijakan "membayarnya" saja dari negara-negara tersebut, tapi juga tiru lebih dulu kebijakan-kebijakan di tiga negara tersebut yang telah membuat rakyatnya jauh lebih sejahtera dibanding Jakarta sehingga mampu membayar segala jenis layanan yang didapat.