Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM RI
Surat keputusan bersama (SKB) sebelas menteri/lembaga negara mengenai penanganan radikalisme aparat sipil negara (ASN) telah memicu kontroversi. Surat itu dinilai bukan instrumen yang tepat karena pembatasan hak asasi hanya diperkenankan melalui undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
SKB yang terdiri atas sebelas poin tersebut mengatur apa yang tidak boleh dilakukan oleh ASN, baik melalui media sosial maupun pernyataan dan tindakan secara langsung yang mengarah atau mendukung radikalisme. Melalui SKB ini diharapkan ada sinergi antara kementerian dan lembaga dalam penanganan tindakan radikal ASN.
Berdasarkan SKB ini, dibentuk tim satuan tugas lintas kementerian dan lembaga yang bertugas menerima laporan, menindaklanjuti, dan memberikan rekomendasi penanganan kepada pimpinan kementerian dan lembaga terkait dengan tembusan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara, dan Komisi ASN.
Kebijakan ini melanggar hak asasi manusia. Setiap orang, termasuk ASN, berhak menyampaikan pendapat, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dalam Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai dengan hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan, baik melalui media cetak maupun elektronik, dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.
Pada Pasal 28J ayat 1 UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Ayat 2 menggariskan bahwa, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 juga menegaskan hal serupa.
Apakah SKB itu telah sesuai serta berada di dalam koridor penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat?
Pertama, pembatasan hak asasi harus dilakukan berdasarkan aturan yang sah. Pemerintah Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pembatasan yang diatur dalam undang-undang ini telah jelas dan tegas, sehingga setiap orang bisa memahaminya dan menerimanya dengan benar.
Pembatasan dijabarkan dalam Pasal 6, yang menyatakan bahwa dalam menyampaikan pendapat, diwajibkan untuk: a) menghormati hak-hak orang lain; b) menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; c) menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d) menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan e) menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Kedua, pembatasan harus mempunyai tujuan yang sah. Dalam hal ini, negara harus menjelaskan, apa tujuan SKB itu dan mengapa perlu? Sejauh mana urgensinya?
Ketiga, bila pembatasan itu memang diperlukan, apa yang menjadi dasar sehingga ada pembatasan khusus bagi kalangan ASN terkait dengan kebebasan berekspresi? Apakah karena adanya laporan bahwa di kalangan ASN banyak yang terindikasi mendukung radikalisme, sebagaimana disinyalir oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan penelitian Setara Institute yang menyatakan ada 11 perguruan tinggi negeri terpapar radikalisme?
Negara harus mempunyai data, informasi, fakta, serta bukti yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum bahwa memang ada bahaya radikalisme di kalangan ASN dan itu akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Definisi radikalisme juga harus jelas dan terukur agar tidak asal menjadi stigma dan tuduhan yang sewenang-wenang.
Sebab, sifat dan karakteristik hak kebebasan menyatakan pendapat merupakan rumpun hak yang negatif. Artinya, negara tidak diperkenankan turut campur dalam atau mengintervensi penggunaan hak itu.
Apakah pembatasan dalam SKB itu akan sejalan dengan keinginan negara untuk mencegah lebih jauh radikalisme ataukah akan berakibat sebaliknya? Pembatasan atas hak asasi memang menjadi kewenangan negara, tapi harus melalui undang-undang, sesuai dengan norma dan prinsip hak asasi manusia serta dilakukan dengan alasan yang jelas dan sah agar tidak kontraproduktif bagi pemajuan dan penegakan hak asasi manusia.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.