Ibrahim Hasyim
Mantan Komisioner Badan Pengatur Hilir Migas
Presiden Joko Widodo alias Jokowi sudah bertekad untuk memperbaiki neraca perdagangan minyak dan gas Indonesia yang terus tekor. Sektor energi harus melakukan upaya-upaya mendasar agar penyakitnya dapat disembuhkan. Beberapa upaya yang sudah dilakukan selama ini belum ampuh mengatasinya. Diperlukan upaya efektif lain yang bisa mengubahnya secara struktural di sisi hulu dan hilir.
Di sisi hulu, caranya tentu dengan meningkatkan produksi minyak di dalam negeri. Kita sudah lama mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan enam kilang bahan bakar minyak dengan total kapasitas sekitar 1 juta barel per hari. Dengan tingkat produksi minyak sekitar 800 ribu barel per hari saat ini dan berpotensi bisa menurun lagi, tidak ada lagi jalan selain impor. Sekalipun upaya meningkatkan produksi pada sumur tua masih bisa terus dilakukan, itu jauh dari cukup. Maka, upaya mencari cadangan minyak raksasa harus terus dilakukan.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017, kebutuhan minyak bumi dalam bauran energi nasional akan meningkat menjadi 980 juta barel pada 2050 atau 2,685 juta barel per hari. Jumlah ini ditetapkan sudah dengan memperhitungkan target produksi gas bumi, energi baru terbarukan (EBT), dan batu bara tercapai. Jika ada kegagalan pada salah satunya, minyak bumi akan menjadi keranjang penyeimbang karena infrastruktur mata rantai pasoknya yang paling lengkap. Artinya, kalau cadangan semakin tipis, 97 persen kebutuhan harus diimpor. Tanpa ada temuan cadangan besar, setidaknya seperti lapangan Banyu Urip yang menyumbang produksi melampaui 200 ribu barel per hari, kondisi sediaan energi nasional akan kepayahan.
Upaya untuk mencari cadangan besar sudah lama dicanangkan, tapi produsen besar minyak dunia belum tertarik datang karena skema usaha yang ditawarkan belum menggelitik. Saya tidak hendak mempertentangkan polemik antara kubu penganut skema cost recovery dan gross split. Saya melihatnya dari sudut pandang bahwa pemerintah akan cenderung membuat kebijakan yang lebih mengedepankan penerimaan negara dan layanan masyarakat, sedangkan investor akan melihat dari kacamata bisnis.
Nyatanya, dengan skema usaha yang berlaku saat ini, produsen besar belum tertarik masuk. Skema gross split ternyata belum menarik produsen minyak besar. Persepsi perusahaan migas global terhadap iklim investasi di Indonesia masih buruk, seperti tecermin dari hasil survei lembaga riset Fraiser Institute Global Petroleum Survey, yang menempatkan Indonesia ke dalam kelompok 10 negara urutan terbawah yang diminati investor selama dua tahun terakhir.
Studi Bain & Company terhadap berbagai perusahaan minyak nasional di dunia menyimpulkan bahwa bentuk skema bisnis itu ditentukan oleh hubungan antara biaya dan kompleksitas lapangan. Pada lapangan yang kompleksitas dan biayanya rendah, umumnya di onshore, diberlakukan skema service contract. Setiap rantai kegiatan pada proses eksplorasi produksi dapat dikontrakkan kepada kontraktor jasa internasional.
Namun, pada lapangan dengan biaya dan kompleksitas lapangan tinggi di offshore, berlaku skema cost recovery. Bila biaya dan kompleksitas lapangan berada di antara keduanya, dirumuskan bentuk skema lain. Jadi, tidak kaku pada satu skema. Keluwesan diperlukan dan cara ini bisa menjadi model baru yang bisa ditawarkan untuk menarik investor besar.
Di sisi hilir, impor BBM harus dilakukan karena kapasitas produksi kilang dalam negeri tidak mencukupi. Volume impor semakin lama semakin meningkat, khususnya bensin. Impor minyak solar mengecil dan diperkirakan dengan pemberlakuan solar B30, Pertamina tidak perlu mengimpor minyak solar lagi. Bagaimana dengan bensin? Yang dipasarkan Pertamina saja ada sekitar 18 juta barel bensin per bulan, yang hampir 60 persennya diimpor. Dari yang diimpor itu, 60 persen adalah bensin Premium 88 ON dan 40 persen bensin 90 ON ke atas.
Saya lebih menyoroti impor Premium karena barang ini harus dengan susah payah dicampur dulu karena tidak ada produksi bensin oktan rendah di kilang negara lain. Indonesia pun sudah jauh-jauh hari berupaya untuk mengurangi konsumsi Premium karena nilai oktannya sudah tidak sesuai lagi dengan teknologi otomotif.
Namun pemerintah memperluas pasar BBM Premium menjadi BBM penugasan di Jawa, Madura, dan Bali sekaligus menambah kuota Premium pada 2018. Konsumsi BBM pada 2018 mendadak naik 13,5 persen, mencapai 80,5 juta kiloliter. Padahal, selama 2010-2017, konsumsi BBM nasional tidak tumbuh, rata-rata bertengger di sekitar 70 juta kiloliter.
Kebijakan baru ini menyebabkan BBM Premium mengalir deras ke 571 stasiun pengisian bahan bakar umum Pertamina di Jawa, Madura, dan Bali. Kebijakan ini jelas cukup berdampak pada defisit neraca migas karena volume impornya saja mencapai sekitar 6 juta kiloliter per bulan. Hal yang disayangkan, karena adanya disparitas harga yang besar, sebagian bensin impor lari ke kegiatan ilegal campur-mencampur dengan BBM oktan tinggi. Kebijakan BBM Premium ini secara keseluruhan perlu ditinjau ulang.