Bagong Suyanto
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
Aksi terorisme di Indonesia tak kunjung mati. Meski berbagai upaya penangkapan telah dilakukan aparat kepolisian di berbagai daerah, sel-sel baru pelaku terorisme tetap saja bermunculan. Satu pelaku terorisme ditangkap, pada saat yang sama, bukan tidak mungkin muncul pelaku terorisme lain yang tak kalah radikal.
Ketika aksi bom bunuh diri terjadi kemudian pemberitaannya reda, tiba-tiba kita dikejutkan oleh aksi bom bunuh diri lain tanpa bisa diduga. Berbeda dengan aksi radikal yang dilakukan secara berkelompok dan terorganisasi, aksi bom bunuh diri yang dilakukan sendiri (lone wolf) memang sulit diprediksi. Sering terjadi, pelaku adalah seorang yang soliter dan bukan terpapar radikalisme karena pengaruh langsung orang lain yang sengaja merekrutnya.
Di Indonesia, dampak dan bahaya bom bunuh diri sebetulnya bukan pada efek ledakan dan jumlah korban yang jatuh. Ancaman di balik bom bunuh diri ada pada efek sosial yang ditimbulkan. Ibarat pupuk, kasus bom bunuh diri sering kemudian menjadi ilham bagi pelaku lain untuk melakukan hal yang sama.
Bahaya dari aksi bom bunuh diri adalah perkembangan radikalisme yang terus tumbuh subur, baik di kalangan individu maupun kelompok. Sejumlah studi menyimpulkan, pengaruh keberanian pelaku bom bunuh diri, fanatisme, dan radikalisme sangat terasa mendorong peningkatan konservatisme dan intoleransi keagamaan (Lindsey dan Pausacker 2016).
Walaupun tidak sampai memicu munculnya rentetan aksi bom bunuh diri yang beruntun, dampak yang ditimbulkan sesungguhnya tak kalah meresahkan. Aksi bom bunuh diri menjadi semacam tontonan keberanian yang keliru, tapi dalam batas-batas tertentu telah mendemonstrasikan bahwa mereka tak sepenuhnya mati.
Sejumlah studi di Indonesia menemukan bahwa pengaruh paham radikalisme tidak hanya menyusup di masjid, para dosen, guru, dan aparatur birokrasi pemerintah, tapi juga menyusup di berbagai sekolah menengah dan kampus (Qodir, 2014; PPIM UIN Jakarta, 2018).
Tindak kekerasan dan radikalisme adalah dua hal yang acap kali berkembang paralel. Meski demikian, sejumlah peneliti telah menyadari bahwa keterkaitan radikalisme dengan terorisme tidak sedemikian langsung seperti yang umumnya diduga. Seperti disebutkan Randy Borum (2011), sebagian orang yang terpapar paham radikal tidak selalu terlibat dalam aksi terorisme dan, sebaliknya, teroris juga tidak selalu bersifat ideologis dan/atau berpaham radikal dalam pengertian tradisional.
Menjadi "radikal" dengan cara mengembangkan atau mengadopsi keyakinan ekstrem yang menjustifikasi kekerasan hanyalah satu dari sekian jalan menuju keterlibatan dalam terorisme. Artinya, menjadi teroris sesungguhnya tidak selalu menempuh rute yang linier, tapi faktor yang mempengaruhi sangat kompleks.
Banyak bukti memang menunjukkan bahwa orang dengan paham radikal dan ideologi yang menjustifikasi kekerasan tidak dengan sendirinya melakukan atau terlibat dalam aksi terorisme. Survei bersifat global yang dilakukan oleh lembaga riset Pew Research dan Gallup menunjukkan bahwa 17 persen muslim bersimpati pada pandangan radikal, kendati sebagian besar dari mereka sama sekali tidak punya komitmen untuk melakukan tindakan kekerasan (Borum, 2011, 9).
Memberantas terorisme hingga ke akar-akarnya jelas bukan hal yang mudah. Pengalaman di berbagai negara telah banyak mengajarkan bahwa memberantas radikalisme dan terorisme yang semata-mata mengandalkan pendekatan keamanan ternyata sering kali justru kontraproduktif. Alih-alih menghilang, ketika eksistensi kelompok radikal ini ditekan dan diregulasi melalui jalan yang kaku, justru memicu tumbuh suburnya pelaku lain yang tak kalah radikal.
Selama ini, upaya untuk mencegah paham radikal makin berkembang dan memutus mata rantai pewarisan paham radikalisme juga telah melalui cara-cara yang lunak. Namun itu semua tampaknya juga belum memperlihatkan hasil seperti yang diharapkan. Pendekatan yang memanfaatkan mantan pengebom untuk ikut terlibat dalam deradikalisasi tidak jarang juga melahirkan resistansi, yang ujung-ujungnya membuka peluang individu atau kelompok tertentu menjadi tetap radikal.
Di luar berbagai pendekatan yang berbasis ideologi, juga budaya tanding untuk melawan radikalisme melalui paham yang mendukung toleransi, ada baiknya jika pemerintah mencoba pendekatan yang sifatnya lebih personal dan berbasis gaya hidup.
Studi yang dilakukan Bagong Suyanto dkk (2018) tentang radikalisme di Indonesia menemukan bahwa proses mengalami deradikalisasi ternyata terkadang sederhana dan tak terduga. Seseorang yang tengah berproses menjadi radikal bisa saja tiba-tiba meninggalkan jalurnya ketika ada alasan yang sifatnya personal, seperti lebih berat pada pacarnya dan merasa terganggu karena budaya populer global yang disukainya dibilang haram.