Galang Geraldy
Kepala Program Studi S-1 Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Perhelatan pemilihan kepala daerah serentak telah memasuki edisi keempat sebelum nantinya bermuara pada pemilihan kepala daerah serentak nasional 2024. Ada banyak catatan mengenai pelaksanaannya.
Isu yang mengemuka adalah biaya tinggi dari kontestasi demokrasi langsung ini, yang berimplikasi pada terbentuknya sistem korupsi di daerah. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, misalnya, menyatakan bahwa untuk menjadi bupati harus bermodalkan Rp 30 miliar. Biaya itu tentu digunakan untuk kampanye, saksi, dan terutama "membeli" partai politik. Padahal gaji kepala daerah selama periode kepemimpinannya (lima tahun) hanya Rp 12 miliar.
Selain itu, pemilihan umum yang seharusnya menjadi panggung kontestasi ide, narasi, dan sirkulasi elite secara demokratis justru menjadi pelanggengan politik dinasti dan oligarki. Belum lagi soal relasi politik dan birokrasi daerah yang sering kali membentuk pola-pola patronasi.
Maka, saya kira masih sangat relevan untuk membedah pelembagaan partai politik. Partai politik pada era demokrasi menjadi salah satu pilar fundamental, dan persoalan kelembagaan partai menjadi ukuran penting dalam menentukan kontur demokrasi yang tengah berjalan.
Meskipun masyarakat mengkritik kinerja partai politik yang hanya berkutat pada praktik-praktik politik pragmatis, partailah yang masih menjadi satu-satunya organisasi yang memiliki sumber daya dan diberi mandat oleh undang-undang untuk memproduksi pemimpin-pemimpin politik.
Bahkan partailah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti yang pernah dikatakan oleh Schattschneider (1942). Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya. Bahkan Schattschneider mengatakan, "Demokrasi modern tidak terpikirkan, kecuali dalam hal partai-partai."
Derajat pelembagaan partai politik itu sendiri, menurut Yves Meny dan Andrew Knapp (1998), bergantung pada tiga parameter, yaitu usia, depersonalisasi organisasi, dan diferensiasi organisasi.
Pertama, faktor pengalaman (usia). Meski masih diperdebatkan karena bersifat relatif, usia perjalanan sebuah partai politik menjadi ukuran awal dalam membangun dasar-dasar pelembagaan partai yang baik. Partai yang menempuh dinamika sistem kepartaian dan pemilu akan menguatkan nilai-nilai dan prinsip politiknya, yang kemudian menjadi budaya politik partai. Hal ini akan mempermudah publik menelaah ide-ide politiknya, meskipun sirkulasi elite partai senantiasa terjadi.
Kedua, kuatnya faktor ketokohan (elitis), yang kemudian membentuk sebuah oligarki dalam menentukan kebijakan politik partai, akan membuat roda organisasi partai berjalan stagnan. Gejala "personalisasi" terlihat tatkala suatu organisasi mengalami kesulitan dalam pergantian kepemimpinan. Menurut Monica dan Jean Charlot (1985), "Sampai suatu pihak (atau perhimpunan apa pun) telah mengatasi krisis dalam menemukan pengganti bagi pendirinya, sampai ia menyusun aturan suksesi yang sah di mata anggotanya, ‘pelembagaannya’ akan tetap berbahaya."
Dalam konstestasi politik lokal (pilkada), sudah sewajarnya proses-proses politik dikelola dan dieksekusi oleh partai politik yang berada di level daerah karena faktor keintiman dengan konteks politik setempat. Artinya, ia tidak perlu bergantung pada ketokohan yang menentukan calon kepala daerah, apalagi jika pola instruksional itu bertentangan dengan preferensi politik yang berkembang di daerah. Hal ini jelas akan mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang berlanggam pada nilai-nilai kebebasan, keterbukaan, dan partisipasi. Sebaliknya, derajat pelembagaan partai akan semakin baik ketika sistem organisasi berjalan secara independen dari pola-pola hegemoni elitis.
Ketiga, sering kali partai politik hanya memvisualkan ide dan narasi politik ke dalam alat peraga kampanye yang konvensional, seperti baliho, spanduk, dan bendera. Visualisasi ide yang sangat kuat, yang kemudian menciptakan political branding, adalah membangun wacana politik melalui ruang-ruang publik yang terbuka, simetris, dan dialogis. Hal itu memang memerlukan proses politik yang tak instan. Namun, jika ini berjalan secara konsisten dan berkelanjutan, publik akan menilai secara utuh dan obyektif.
Di luar itu, saya ingin menambahkan satu hal yang fundamental, yaitu pelembagaan partai melalui sistem transparansi dan akuntabilitas yang bisa dipantau dan dievaluasi oleh publik atau lembaga independen. Transparansi ini ada dalam dua hal. Pertama, rumusan kebijakan (visi-misi) politik partai dan rencana kerja partai yang kemudian dibedah secara terbuka melalui ruang publik. Kedua, transparansi dalam hal keuangan partai. Karena partai politik sejatinya adalah organisasi publik, tidak ada salahnya membangun keterbukaan kebijakan dan anggaran melalui informasi media massa dan situs web, sehingga publik akan dengan mudah menilai dan menganalisis derajat akuntabilitas sebuah partai.