Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menghalau Pertumbuhan Despotis

image-profil

image-gnews
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengikuti Upacara Ziarah Nasional untuk memperingati Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta, 10 November 2019. TEMPO/Ahmad Faiz
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengikuti Upacara Ziarah Nasional untuk memperingati Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta, 10 November 2019. TEMPO/Ahmad Faiz
Iklan

Edbert Gani Suryahudaya
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS

Koalisi yang gemuk telah menjadi pilihan Joko Widodo atau Jokowi untuk mengawali periode pemerintahan keduanya. Tak cukup hanya dengan kursi menteri, beberapa partai dan organ pendukung juga diberi jatah wakil menteri. Secara kasatmata, banyak kalangan melihat hal ini sebagai upaya Jokowi menjaga stabilitas politik. Salah satu argumennya, ini akan memperbanyak pilihan Jokowi apabila ada unsur koalisi yang membelot. Dengan fleksibel pada pintu koalisi, Jokowi dirasa mampu menjaga dukungan mayoritas di parlemen. Tapi, apakah stabilitas politik hanya ditentukan oleh konsolidasi elite politik?

Baca Juga:

Belum lama ini Daron Acemoglu, profesor ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology; dan James A. Robinson, profesor ilmu politik dari University of Chicago, melansir buku The Narrow Corridor (2019). Buku ini menjadi kelanjutan dari karya gemilang mereka sebelumnya, Why Nations Fail? (2012). Dalam The Narrow Corridor, keduanya berargumen bahwa kebebasan, sebagai kebutuhan dasar manusia, dapat terjadi di ruang yang tercipta karena keseimbangan tarik-menarik antara kapasitas kekuasaan negara dan mobilisasi masyarakat yang berlangsung secara terus-menerus. Ruang inilah yang menjadi motor bagi kesejahteraan jangka panjang dan inovasi karena ada permintaan terhadap perluasan peran negara yang dikontrol oleh partisipasi masyarakat.

Demonstrasi besar-besaran beberapa hari sebelum pelantikan Presiden Jokowi didiagnosis sebagai salah satu kekhawatiran utama akan stabilitas politik Jokowi. Padahal tuntutan mahasiswa dan masyarakat sipil tidak terletak pada penjungkirbalikan rezim, melainkan beberapa produk perundangan yang tidak memenuhi kebebasan hak sipil dan tidak sesuai dengan semangat antikorupsi.

Setelah dilantik, ketimbang menjawab tuntutan itu, Jokowi justru hanya berfokus pada penguatan koalisinya. Sementara itu, elite partai politik saling mengkonsolidasikan kekuatan dengan bermain narasi pada perubahan sistem politik. Amendemen konstitusi, misalnya, dijadikan alat jual kepentingan jangka pendek tanpa membuka ruang partisipasi masyarakat. Manuver ini sama sekali tidak menempatkan masyarakat sebagai aktor, melainkan penonton semata.

Yang perlu dibayar adalah stabilitas itu sendiri. Konsolidasi yang lebih diperlukan bukanlah antar-elite melainkan antara elite dan masyarakat. Apakah bila partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat berhasil dikonsolidasikan maka rakyat juga akan terkonsolidasi? Jawabannya tentu saja tidak. Ini karena tingkat kepercayaan terhadap DPR rendah.

Apa yang terjadi saat ini justru berdampak negatif terhadap stabilitas karena memperparah ketidakpercayaan publik kepada institusi politik. Indikasi yang muncul memperlihatkan bahwa konsolidasi elite yang terjadi justru semakin menyudutkan kepentingan masyarakat. Misalnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tetap dibiarkan terus menjadi sumber masalah kebebasan berekspresi, dan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi malah bisa mengkriminalkan penelitian akademis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kepentingan dunia usaha juga terkena imbasnya. Beberapa pos menteri krusial di bidang ekonomi justru tidak diberikan kepada profesional. Penyusunan kabinet berdampak menurunnya kepercayaan diri pasar, ekspresi yang terlihat di hari pengumuman kabinet.

Apabila ketidakpercayaan itu dibiarkan terus meningkat, yang terjadi adalah polarisasi yang kuat antara elite dan masyarakat. Polarisasi tersebut tidak akan membuat pemenuhan kebutuhan masyarakat berjalan sebagaimana mestinya, karena akan mengakibatkan masing-masing kelompok hanya akan berinvestasi politik pada satu pihak dengan tujuan untuk meniadakan pihak yang lain. Ketimbang meredakan tensi, kapasitas negara untuk menyelesaikan konflik justru akan semakin berkurang. Ruang untuk populisme ekstrem di masa mendatang akan semakin terbuka.

Politik yang stabil bukan berarti tanpa protes. Justru kestabilan sedang terjadi pada ruang sempit, seperti disebut oleh Acemoglu dan Robinson, karena masyarakat yang diam tidak akan melahirkan permintaan atas pemenuhan kebutuhan barang publik yang semakin beraneka ragam. Dengan kata lain, negara dapat berkembang pengaruhnya bukan karena isi kepala seorang presiden, melainkan karena ada partisipasi permintaan dari publik. Hal ini hanya bisa terwujud apabila ada kebebasan yang dijamin oleh negara.

Apabila kondisi sekarang dibiarkan terus, negara akan cenderung despotis. Pertumbuhan bisa saja tetap terjadi, tapi tidak inklusif dan akuntabel. Pertumbuhan hanya dipacu oleh relasi klientelistik dan kekerabatan elite. Pertumbuhan despotis tidak akan menciptakan kestabilan dalam jangka panjang dan justru akan memberatkan masyarakat. Orde Baru telah mengajarkan kepada kita tentang hal itu.

Kondisi saat ini bertabrakan dengan ide besar Jokowi untuk membangun Indonesia maju. Terlalu banyak inkonsistensi di antara narasi visi politik dan kebijakan serta keputusan politik. Masyarakat cenderung dikambinghitamkan dalam berbagai permasalahan, padahal sumbernya ada pada sistem yang membatasi akses partisipasi.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.