RENCANA Kementerian Agraria dan Tata Ruang menghapus syarat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin mendirikan bangunan (IMB) adalah keberpihakan yang buruk terhadap korporasi. Dalih mereduksi syarat yang ruwet untuk menggaet investasi mencerminkan pemerintahan Joko Widodo periode kedua ini tidak kreatif dalam strategi menumbuhkan ekonomi.
Ekonomi dunia akan melemah pada tahun-tahun mendatang, yang bakal berimbas pada lesunya investasi. Tapi hal ini tak harus disambut dengan kebijakan yang akan mengorbankan lingkungan. Di seluruh dunia, program ekonomi kini selalu mengedepankan isu ini, kecuali di negara-negara yang kepala negaranya terpilih karena program populis. Revolusi industri dua abad silam, yang mengabaikan aspek lingkungan, menimbulkan bencana yang mengancam kelangsungan bumi dan spesies manusia.
Tren dunia kini adalah meningkatkan ekonomi untuk meredakan gejolak sosial, dan pertama-tama harus mengutamakan urusan lingkungan. Maka, jika Indonesia ikut dalam genderang para populis itu, kita sedang punya andil dalam menghancurkan masa depan kita sendiri.
IMB dan amdal adalah cara negara memproteksi lingkungan dan manusia dengan membatasi nafsu korporasi meluaskan skala ekonomi yang cenderung intrusif. Tanpa proteksi itu, pembangunan ekonomi hanya akan menghasilkan pelbagai kerusakan hingga pelanggaran hak asasi dan kerugian alam yang lebih besar.
Jika masalahnya adalah tumpang-tindih karena kewenangan IMB dan amdal berada di pemerintah daerah, tak sepatutnya pemerintah pusat potong kompas menghilangkannya. Siapa yang bisa menjamin, di birokrasi tingkat pusat, korupsi pengurusan izin tak terjadi? Maka, alasan yang dikemukakan Menteri ATR dan wakilnya soal rencana itu menunjukkan mereka tidak kreatif dan naif dalam membuat kebijakan tata ruang.
Tumpang-tindih kewenangan adalah penyakit lama birokrasi kita. Selain dengan penegakan hukum, cara terbaik menguatkan sistem perizinan adalah dengan membuatnya setransparan mungkin. Pengurusan IMB dan amdal yang mahal, lama, dan tak pasti, misalnya, bisa diselesaikan dengan cara digital. Rencana Kementerian ATR itu terkesan menyerah kepada keadaan, kepada korupsi yang berurat-berakar, alih-alih menguatkan sistem agar semua kegilaan tersebut berhenti.
Seharusnya ide sederhana ini diterapkan oleh Surya Tjandra, Wakil Menteri ATR, pengacara muda pembela buruh yang terpilih menjadi Calon Legislator Pilihan Tempo 2018. Rencana yang dikemukakannya setelah menjadi pejabat publik sungguh bertolak belakang dengan yang selama ini ia lakukan dan kampanyekan.
Surya seharusnya sadar keberadaannya di kabinet mendorongnya menjadi penyeimbang kekuasaan yang cenderung korup. Sebagai pengacara buruh dan pembela orang kecil, ia semestinya juga paham korban pertama pembangunan yang buruk adalah konstituennya sendiri: mereka yang mengandalkan hidup pada alam, yang akan rusak jika pembangunan menghilangkan syarat kelestarian lingkungan.
Maka, rencana menghapus IMB dan amdal harus ditinggalkan dan dilupakan segera. Selain menimbulkan kegaduhan dan tak sejalan dengan zaman, rencana itu menunjukkan pemerintah Jokowi tunduk kepada pemodal politik yang berniat mengeruk sumber daya seraya mengabaikan faktor alam dan manusia, seperti reklamasi pantai dan pembangunan infrastruktur, dari energi hingga jalan raya.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 21 November 2019