Ali Rif’an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat. Pemicunya ialah penilaian soal mahalnya biaya pilkada langsung dan maraknya korupsi kepala daerah. Disebutkan, misalnya, calon kepala daerah tingkat bupati atau wali kota harus merogoh kocek sebesar Rp 15 miliar sampai Rp 20 miliar dalam pilkada langsung.
Akibatnya, begitu seorang calon kepala daerah terpilih, yang paling utama dipikirkan ialah bagaimana mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk mengembalikan modal saat pilkada. Korupsi kemudian menjadi jalan keluarnya. Inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk mengevaluasi pilkada langsung.
Memang, sistem pilkada langsung bukan tidak menyisakan persoalan. Persoalan pastinya ada sehingga evaluasi secara periodik perlu dilakukan. Namun mengevaluasi sistem pilkada langsung dengan mengembalikan ke sistem lama yang kental praktik oligarki tersebut merupakan cara berpikir yang melompat dan terlampau menyederhanakan persoalan.
Jika biaya tinggi dan maraknya korupsi dijadikan sebagai alasan dasarnya, yang perlu dievaluasi seharusnya dua hal. Pertama, sistem atau implementasi di lapangan. Misalnya melakukan kajian lebih detail soal penggunaan biaya tinggi pilkada langsung. Jika biaya tinggi digunakan untuk mahar politik atau politik uang, solusinya ialah penegakan hukum yang ketat.
Bila persoalannya terletak pada pembiayaan kampanye yang tinggi, perlu dibuat regulasi kampanye yang lebih murah, misalnya diperpendek rentang waktu kampanyenya dan dibatasi pemasangan iklan-iklan politik tertentu yang terlalu mahal. Artinya, pemerintah dan DPR seharusnya mencari jalan keluar bagaimana supaya pilkada langsung tidak berbiaya tinggi, bukan malah melempar wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Kedua, pembekalan untuk calon kepala daerah. Di sini, partai politik harus punya mekanisme yang ketat dalam menjaring calon kepada daerah. Pengkaderan berkualitas dan intensif, seperti melalui sekolah partai atau sekolah integritas, mutlak mesti diberikan kepada para calon kepala daerah. Artinya, persoalan korupsi perlu diselesaikan dari hulunya, bukan hanya dari hilirnya.
Dalam mengusung calon kepala daerah, partai tidak boleh hanya terjebak pada aspek elektabilitas dan "isi tas". Aspek integritas dan kapabilitas juga perlu menjadi alasan utama mengapa, misalnya, figur tertentu diusung partai politik. Melalui pengkaderan yang berkualitas dan intensif, partai punya matrik tentang kader mana yang layak diusung dan mana yang belum layak. Dengan mengusung kader berkualitas, diharapkan, selain dapat menghemat ongkos politik, calon juga mampu terhindar dari praktik korupsi.
Mengembalikan pilkada kepada DPRD tidak mendatangkan maslahat, melainkan malah lebih banyak mendatangkan mudarat. Selain membuat demokrasi berjalan mundur, hal itu punya ekses politik yang panjang sebagai berikut.
Pertama, jika langkah mengembalikan sistem pilkada lewat DPRD berhasil, tidak tertutup kemungkinan sistem pemilihan presiden secara langsung juga akan dievaluasi. Sebab, riak-riak adanya sebagian pihak yang ingin mengembalikan pemilihan presiden lewat MPR juga sempat mengemuka seiring dengan santernya rencana amendemen UUD 1945 dan menghidupkan kembali GBHN.
Kedua, tidak ada jaminan pilkada lewat DPRD dapat memangkas ongkos politik dan mencegah korupsi. Ketiga, sistem ini akan mengerdilkan partisipasi warga. Ini jelas kemunduran besar karena, menurut Robert A. Dahl (1985), salah satu ciri demokrasi sebagai sebuah ide politik modern ialah adanya kesamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat dan adanya partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif.
Pada prinsipnya, tujuan demokrasi dalam kehidupan bernegara meliputi kebebasan berpendapat dan kedaulatan rakyat. Esensi demokrasi ialah kedaulatan rakyat, yakni rakyat dilibatkan dalam proses pemerintahan, mulai dari pemilihan umum hingga memberi aspirasi ihwal kebijakan publik. Demokrasi ialah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pemerintahan dari rakyat dapat dimaknai sebagai pemerintahan yang diakui dan mendapat pengakuan serta dukungan dari rakyat. Pemerintahan oleh rakyat berarti suatu pemerintahan yang menjalankan kekuasaan atas nama rakyat. Rakyat punya sistem pengawasan pemerintahan melalui dua jalur, yakni secara langsung (kontrol sosial) dan sistem perwakilan (melalui DPR).
Adapun pemerintahan untuk rakyat mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah dijalankan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Selain itu, sistem demokrasi bertujuan membatasi kekuasaan pemerintahan agar tidak menjadi diktator dan korup. Sebab, seperti kata Putnam (1976), salah satu penyakit orang yang sedang berkuasa adalah cenderung ingin melanggengkan kekuasaannya.