Barid Hardiyanto
Kandidat Doktor di Ilmu Administrasi Publik UGM
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan soal perhutanan sosial di Jawa berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Bagi banyak kalangan, kebijakan tersebut merupakan salah satu terobosan positif bagi konsepsi pengelolaan hutan di Jawa.
Jokowi dalam beberapa kesempatan bahkan secara langsung menyerahkan sertifikat Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) serta Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan kepada masyarakat, dan masyarakat menyambut positif upaya ini. Namun di balik perhutanan sosial ala Jokowi, seperti yang dilakukannya selama ini, masih terdapat banyak gagasan lain dalam mentransformasikan pengelolaan hutan di Jawa agar lebih baik.
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan selama kurang-lebih 20 tahun, setidaknya terdapat beberapa tipologi dalam persoalan kehutanan yang masing-masing mempunyai jalan keluar yang berbeda-beda. Pertama, tanah timbul/tanah negara bebas yang kemudian diklaim Perhutani sebagai "tanah Perhutani" dapat dijadikan obyek land reform/hak milik.
Kedua, tanah Perhutani tempat rakyat punya sejarah atas tanah tersebut tapi kemudian rakyat diusir karena dituduh terlibat Darul Islam/Tentara Islam Indonesia maupun Partai Komunis Indonesia dapat diberikan kembali kepada rakyat dalam bentuk hak milik.
Ketiga, tanah Perhutani yang telah dikuasai lama oleh desa/adat dapat diserahkan kepada desa/adat sebagai tanah desa/komunal. Keempat, tanah Perhutani yang dikuasai masyarakat dari hasil "okupasi" dapat diberikan kepada rakyat. Kelima, tanah Perhutani yang memang dikuasai setengah/penuh oleh Perhutani diberi hak kelola rakyat melalui desa (Hardiyanto, 2015).
Jadi, perhutanan sosial ala Jokowi hanyalah salah satu jalan untuk mengatasi satu bagian saja dari tipologi yang ada, yakni tipologi kelima. Itu pun perhutanan sosial pada level "setengah merdeka", yakni masyarakat diberi izin pemanfaatan hutan selama 35 tahun dengan sistem bagi hasil dengan Perhutani, dan yang paling substansial tetap saja kuasa penuhnya ada di Perhutani.
Dalam konteks itulah, perlu ada satu terobosan baru untuk melampaui perhutanan sosial ala Jokowi. Terobosan tersebut dapat kita lakukan dengan belajar dari keberhasilan lahirnya Undang-Undang Desa. Salah satu bagian UU Desa adalah upaya mentransfer dana dari pemerintah pusat ke desa. Dalam konteks pengelolaan hutan, perlu ada upaya untuk melakukan "transfer aset" dari pemerintah pusat kepada pemerintah desa dengan memberikan hak pengelolaan hutan kepada desa.
Lantas, mengapa dapat dipercaya untuk mengelola hutan? Berdasarkan policy brief Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa, terdapat beberapa alasan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Pertama, desa merupakan institusi yang bersifat permanen untuk mengurus dan melayani kehidupan masyarakatnya.
Kedua, desa merupakan manifestasi representasi masyarakat dari waktu ke waktu pengelolaannya, khususnya dalam bidang demokratisasi desa. Maka, diasumsikan desa akan mampu menjadi agen untuk mendistribusikan pemanfaatan pengelolaan sumber daya di wilayahnya, termasuk hutan.
Ketiga, desa adalah institusi yang memiliki sumber daya pendanaan. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Desa Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019 yang menyebut perhutanan sosial sebagai salah satu kegiatan prioritas dari anggaran desa.
Nantinya, dengan lahirnya kebijakan baru tersebut, setidaknya terdapat dua manfaat besar. Pertama, target reforma agraria dan perhutanan sosial dapat lebih terlaksana dengan cepat, bahkan melampaui target yang diinginkan. Kondisi ini dapat terjadi karena desa mempunyai suprastruktur kekuasaan pemerintah yang dapat dengan cepat menjalankan amanah tersebut.
Kedua, dengan adanya pengelolaan hutan oleh desa, seperti halnya transfer dana dari pusat ke desa yang mampu membuat desa lebih bergeliat dan mampu menjadikan banyak inovasi, transfer aset dalam hal ini pengelolaan hutan dari pemerintah pusat kepada desa akan mempercepat pergerakan ekonomi di desa dan memunculkan inovasi-inovasi dalam pengelolaan hutan.