Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Melampaui Perhutanan Sosial ala Jokowi

image-profil

image-gnews
Massai Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia menggelar aksi demonstrasi untuk menuju depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019. Sempat dikira mau berdemo, aksi ini dibuat untuk menyampaikan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo. TEMPO/Subekti.
Massai Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia menggelar aksi demonstrasi untuk menuju depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019. Sempat dikira mau berdemo, aksi ini dibuat untuk menyampaikan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo. TEMPO/Subekti.
Iklan

Barid Hardiyanto
Kandidat Doktor di Ilmu Administrasi Publik UGM

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan soal perhutanan sosial di Jawa berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Bagi banyak kalangan, kebijakan tersebut merupakan salah satu terobosan positif bagi konsepsi pengelolaan hutan di Jawa.

Jokowi dalam beberapa kesempatan bahkan secara langsung menyerahkan sertifikat Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) serta Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan kepada masyarakat, dan masyarakat menyambut positif upaya ini. Namun di balik perhutanan sosial ala Jokowi, seperti yang dilakukannya selama ini, masih terdapat banyak gagasan lain dalam mentransformasikan pengelolaan hutan di Jawa agar lebih baik.

Berdasarkan penelitian yang saya lakukan selama kurang-lebih 20 tahun, setidaknya terdapat beberapa tipologi dalam persoalan kehutanan yang masing-masing mempunyai jalan keluar yang berbeda-beda. Pertama, tanah timbul/tanah negara bebas yang kemudian diklaim Perhutani sebagai "tanah Perhutani" dapat dijadikan obyek land reform/hak milik.

Kedua, tanah Perhutani tempat rakyat punya sejarah atas tanah tersebut tapi kemudian rakyat diusir karena dituduh terlibat Darul Islam/Tentara Islam Indonesia maupun Partai Komunis Indonesia dapat diberikan kembali kepada rakyat dalam bentuk hak milik.

Baca Juga:

Ketiga, tanah Perhutani yang telah dikuasai lama oleh desa/adat dapat diserahkan kepada desa/adat sebagai tanah desa/komunal. Keempat, tanah Perhutani yang dikuasai masyarakat dari hasil "okupasi" dapat diberikan kepada rakyat. Kelima, tanah Perhutani yang memang dikuasai setengah/penuh oleh Perhutani diberi hak kelola rakyat melalui desa (Hardiyanto, 2015).

Jadi, perhutanan sosial ala Jokowi hanyalah salah satu jalan untuk mengatasi satu bagian saja dari tipologi yang ada, yakni tipologi kelima. Itu pun perhutanan sosial pada level "setengah merdeka", yakni masyarakat diberi izin pemanfaatan hutan selama 35 tahun dengan sistem bagi hasil dengan Perhutani, dan yang paling substansial tetap saja kuasa penuhnya ada di Perhutani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam konteks itulah, perlu ada satu terobosan baru untuk melampaui perhutanan sosial ala Jokowi. Terobosan tersebut dapat kita lakukan dengan belajar dari keberhasilan lahirnya Undang-Undang Desa. Salah satu bagian UU Desa adalah upaya mentransfer dana dari pemerintah pusat ke desa. Dalam konteks pengelolaan hutan, perlu ada upaya untuk melakukan "transfer aset" dari pemerintah pusat kepada pemerintah desa dengan memberikan hak pengelolaan hutan kepada desa.

Lantas, mengapa dapat dipercaya untuk mengelola hutan? Berdasarkan policy brief Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa, terdapat beberapa alasan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Pertama, desa merupakan institusi yang bersifat permanen untuk mengurus dan melayani kehidupan masyarakatnya.

Kedua, desa merupakan manifestasi representasi masyarakat dari waktu ke waktu pengelolaannya, khususnya dalam bidang demokratisasi desa. Maka, diasumsikan desa akan mampu menjadi agen untuk mendistribusikan pemanfaatan pengelolaan sumber daya di wilayahnya, termasuk hutan.

Ketiga, desa adalah institusi yang memiliki sumber daya pendanaan. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Desa Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019 yang menyebut perhutanan sosial sebagai salah satu kegiatan prioritas dari anggaran desa.

Nantinya, dengan lahirnya kebijakan baru tersebut, setidaknya terdapat dua manfaat besar. Pertama, target reforma agraria dan perhutanan sosial dapat lebih terlaksana dengan cepat, bahkan melampaui target yang diinginkan. Kondisi ini dapat terjadi karena desa mempunyai suprastruktur kekuasaan pemerintah yang dapat dengan cepat menjalankan amanah tersebut.

Kedua, dengan adanya pengelolaan hutan oleh desa, seperti halnya transfer dana dari pusat ke desa yang mampu membuat desa lebih bergeliat dan mampu menjadikan banyak inovasi, transfer aset dalam hal ini pengelolaan hutan dari pemerintah pusat kepada desa akan mempercepat pergerakan ekonomi di desa dan memunculkan inovasi-inovasi dalam pengelolaan hutan.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

16 jam lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

29 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.