Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Gertakan Surya Paloh

Oleh

image-gnews
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memberikan sambutan saat pembukaan Kongres II Partai NasDem di JIExpo, Jakarta, Jumat 8 November 2019. Kongres II Partai NasDem yang digelar 8-11 November itu mengusung tema Restorasi Untuk Indonesia Maju. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memberikan sambutan saat pembukaan Kongres II Partai NasDem di JIExpo, Jakarta, Jumat 8 November 2019. Kongres II Partai NasDem yang digelar 8-11 November itu mengusung tema Restorasi Untuk Indonesia Maju. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Iklan

SIKAP Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pada Oktober lalu yang mengindikasikan akan menempuh jalan oposisi terlihat hanya sebagai letupan rasa kecewa. Hampir sebulan kemudian, ketika merespons teriakan kadernya dalam kongres NasDem yang menyerukan "oposisi", Surya malah menyebut gagasan itu "bodoh sekali".

Tak konsistennya sikap Surya memperlihatkan bahwa ia cuma menggertak Presiden Joko Widodo dan koalisi partai pendukung pemerintah. Main tekan seperti ini bukanlah perilaku terlarang dalam demokrasi, tapi kurang elok sekaligus membikin masyarakat bingung. Partai pendukung pemerintah semestinya konsisten dengan posisinya, kecuali jika benar-benar mau beroposisi.

Manuver Partai NasDem sebetulnya tidak sulit dibaca. Surya Paloh mengancam bahwa partainya akan menjadi oposisi setelah mengalami kekecewaan. NasDem sudah mulai bereaksi ketika Presiden Jokowi mengajak Partai Gerindra masuk kabinet. Didukung sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jokowi akhirnya tetap merangkul Gerindra. Partai ini bahkan mendapat dua posisi menteri. Salah satunya Kementerian Pertahanan, yang dipegang Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.

NasDem, yang sejak periode lalu mengusung Jokowi, kian kecewa lantaran hanya mendapat tiga kursi dari empat yang diinginkan. Posisi Jaksa Agung, yang dipegang NasDem pada periode lalu, salah satu yang hendak dipertahankan. Tapi semua keinginan itu tak terpenuhi. Jokowi memberikan posisi penting tersebut kepada jaksa senior yang dikenal dekat dengan kalangan PDIP.

Tak lama setelah kabinet terbentuk, Surya menyambangi Partai Keadilan Sejahtera, yang sudah bertekad menjadi oposisi, dan memeluk erat Presiden PKS Sohibul Iman. Surya juga mendekati Gubernur Anies Baswedan dan mempromosikannya sebagai calon presiden 2024. Tapi semua manuver karena rasa kecewa itu mereda setelah Surya dan Jokowi berpelukan dalam penutupan kongres NasDem beberapa waktu lalu. Megawati, yang dikabarkan berseteru dengan Surya, pun hadir dalam perhelatan itu.

Gagasan beroposisi sebetulnya bagus bila NasDem melakukannya secara konsisten. Partai itu perlu mengumumkan secara terbuka dan menarik kadernya dari kabinet. Apalagi situasi koalisi pro-pemerintah memang agak sumpek. Partai pendukung Presiden Jokowi sudah terlalu banyak, seperti PDIP, Gerindra, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, dan sejumlah partai lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dukungan politik yang amat kuat kepada pemerintah itu hanya akan menyebabkan Dewan Perwakilan Rakyat jadi tukang stempel. Oposisi yang memadai amat diperlukan untuk mengontrol pemerintah. Demokrasi juga membutuhkan disensus agar memperbaiki dirinya terus-menerus. Jika menjadi oposisi, NasDem bisa memainkan peran penting tersebut bersama partai lain, seperti PKS.

Menjadi oposisi atau "berpuasa"-mengutip istilah kalangan PKS-bukanlah pilihan buruk. NasDem bisa saja meraup suara lebih besar pada Pemilihan Umum 2024. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Gerindra sudah pernah membuktikan hal itu saat menjadi oposisi. Bila pemerintah Jokowi dianggap kurang berhasil pada periode kedua ini, partai yang beroposisi akan mengeruk banyak keuntungan politik.

Sikap yang mendua-bersikap kritis terhadap pemerintah tapi menempatkan kadernya di kabinet-tentu tidak elok dalam berdemokrasi. Manuver NasDem sebaiknya menghindari politik dua kaki. Partai yang oportunistik malah akan dibenci sesama partai pendukung pemerintah sekaligus dicemooh publik.

Catatan:

Ini merupakan artikel majalah tempo edisi 18-24 November 2019

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.