Putu Setia
@mpujayaprema
Sertifikat itu penting. Apalagi sertifikat tanah. Begitu pentingnya sampai-sampai Presiden Joko Widodo sendiri yang membagikan sertifikat tanah kepada rakyat. Dulu tugas itu biasa dilakukan kepala desa atau lurah, bahkan cukup staf desa yang memberi tahu penduduk agar mengambil sendiri sertifikat tanahnya di kantor kepala desa.
Kini Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan juga bakal menerbitkan sertifikat yang sangat penting. Namanya sertifikat perkawinan. Setiap orang yang mau kawin wajib memiliki sertifikat itu. Cara mendapatkannya adalah mengikuti kelas pranikah yang lamanya tiga bulan. Calon suami-istri akan dibekali pengetahuan seputar kesehatan alat reproduksi, penyakit berbahaya yang mungkin terjadi pada pasangan suami-istri dan anak, hingga masalah stunting. "Untuk memastikan bahwa dia memang cukup menguasai bidang-bidang pengetahuan yang harus dimiliki itu, dibuktikan dengan sertifikat," ujar Muhadjir Effendy. Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan dilibatkan dalam sertifikasi ini.
Bimbingan menjelang perkawinan sudah umum di berbagai agama. Di gereja Katolik, misalnya, calon pasangan pengantin wajib mengikuti sekolah pranikah. Di kalangan muslim pun ada anjuran untuk kursus pranikah, yang diselenggarakan oleh kantor urusan agama. Pada umat Hindu memang tak ada sekolah atau kursus sebelum menikah, tapi bimbingan berupa persiapan menempuh hidup baru biasa dilakukan kepada remaja yang sudah berumur matang untuk menikah. Jadi, bukan kepada "calon pengantin" agar tidak menjadi gosip, karena biasanya para remaja merahasiakan tunangannya, termasuk jadwal perkawinannya.
Kini Menko Muhadjir Effendy akan mewajibkan sertifikasi calon pasangan sebagai salah satu syarat menikah pada 2020. Sertifikat itu akan bisa didapat setelah pasangan mengikuti kelas pranikah yang diadakan pemerintah. Bukan lagi dilakukan oleh swasta, termasuk gereja atau lembaga-lembaga adat.
Ini terobosan luar biasa. Rupanya Pak Muhadjir mau menerjemahkan visi dan misi Presiden Jokowi (karena menteri tak boleh punya misi dan visi) untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul di Republik ini. Sejak anak itu dalam proses, berkembang dalam perut sang ibu, lahir ke dunia, sudah harus unggul dalam kesehatan karena ayah dan ibunya sudah punya sertifikat.
Presiden Jokowi gencar memangkas aturan yang menghambat investasi. Namun di ranah privat seperti perkawinan, justru persyaratan diperberat untuk "investasi anak". Bisa-bisa kalau sertifikasi ini dilakukan dengan ketat, akan menghambat keluarnya akta perkawinan, meski surat nikah bukan syarat bahwa perkawinan itu sah. Dalam Undang-Undang tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 disebutkan, perkawinan sah jika dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Pencatatan perkawinan merupakan urusan formal duniawi.
Di kalangan umat Islam, surat nikah tak rumit karena perkawinan dilangsungkan di hadapan penghulu dan saat itu pula dicatat petugas KUA. Untuk umat Hindu, perkawinan sah dengan ritual dipimpin pendeta, tapi pencatatannya dilakukan di kantor catatan sipil yang ada di kabupaten/kota. Mengurusnya perlu waktu, selain biaya. Bukannya pencatatan perkawinan itu dipermudah, misalnya, dengan di setiap kecamatan ada staf dari unsur catatan sipil. Atau KUA juga melayani umat non-Islam di daerah tertentu. Yang terjadi malah urusan kawin makin berat dengan syarat ada sertifikat. Repot amat mengurusi orang kawin, seolah-olah kaum milenial tak bisa belajar dari Internet untuk urusan ini.