Seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang melarang pemakaian salam lintas agama amatlah berlebihan. Imbauan kepada umat dan para pejabat yang beragama Islam ini malah dapat menyuburkan sikap intoleran di kalangan masyarakat.
Tidak ada peraturan resmi mengenai pengucapan salam dalam pidato pejabat. Presiden Sukarno biasa memakai salam "merdeka!" dan "asalamualaikum". Presiden Soeharto tidak mempunyai salam khusus, tapi sering menggunakan kata-kata "sebangsa dan setanah air" dalam pidatonya. Pada era reformasi kemudian muncul "salam sejahtera bagi kita semua", yang sering diucapkan para pejabat.
Di era Presiden Megawati, salam "om swastiastu" kerap dipakai. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalu menambahkan "shalom", "namo buddhaya", dan "salam kebajikan". Presiden Joko Widodo pun sering mengucapkan semua salam tersebut.
Tujuan ucapan salam itu untuk menghormati berbagai agama yang tumbuh dan berkembang di negeri ini. Hal ini jauh dari urusan keyakinan keagamaan mereka, seperti yang diasumsikan oleh MUI Jawa Timur sehingga pejabat yang mengucapkan salam semacam itu dianggap akan merusak keimanannya.
Larangan mengucapkan salam lintas agama ini telah dikritik oleh para pemikir Islam kontemporer, seperti Nurcholish Madjid dan Masdar F. Mas’udi, sebagai bentuk fikih klasik yang umumnya menampilkan wajah Islam yang garang dan kasar terhadap umat beragama lain. Mereka justru mendorong pengucapan salam lintas agama sebagai bentuk toleransi dan inklusivitas Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, bukan cuma umat Islam.
Seruan MUI Jawa Timur justru bisa memperburuk situasi kerukunan beragama di Indonesia yang kini mulai terusik oleh berkembangnya sikap intoleran. Freedom House pun menilai demokrasi yang pernah mencapai puncaknya pada awal reformasi mulai merosot lagi sejak 2006. Salah satu faktornya adalah kebebasan beragama yang memburuk. Indikasinya, antara lain, banyaknya kasus kekerasan dan intimidasi terhadap penganut Syiah dan Ahmadiyah serta aturan pendirian rumah ibadah yang kurang adil.
Beberapa hari lalu, Setara Institute pun memaparkan bahwa selama 12 tahun terakhir telah terjadi 2.400 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pelakunya berasal dari hampir semua pihak, dari polisi, tentara, anggota Satuan Polisi Pamong Praja, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, hingga kepala desa. Korban terbesarnya adalah kaum Ahmadiyah, penganut aliran kepercayaan, umat Kristiani, dan Syiah.
Para ulama MUI sepatutnya menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang plural. Ada banyak agama, suku, sekte, dan keyakinan yang tumbuh dan berkembang hingga membentuk Indonesia yang kita kenal sekarang. Kebinekaan ini hanya dapat dipertahankan dengan memelihara sikap saling percaya dan toleransi. Memberikan ucapan selamat lintas agama adalah cara mudah dan sederhana untuk merawat kerukunan beragama.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 15 November 2019