Munir Sara
Mahasiswa Pascasarjana Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Jakarta
Pembangunan yang tersentralisasi di perkotaan selama sekian lama telah membuat kesenjangan ekonomi serta kesejahteraan antara kota dan desa begitu lebar. Kota terus tersejahterakan, sementara desa dipenuhi dengan segala momok kemiskinan dan keterbelakangan. Pembangunan kota yang pesat menggeser kemiskinan bertumpuk-tumpuk atau terkonsentrasi di pedesaan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa boleh dikatakan sebagai suatu "revolusi" pembangunan nasional. Dalam waktu singkat, paradigma dan corak pembangunan berubah cepat. Undang-undang itu mengubah cara pikir negara, dari desa sebagai subordinasi pemerintahan menjadi entitas penting pemerintahan.
Dengan adanya Undang-Undang Desa, desentralisasi menemukan bentuk sempurna hingga ke bentuk entitas pemerintahan paling rendah, yakni otonomisasi pemerintahan desa beserta keistimewaan mengelola anggaran pembangunan sendiri dalam bentuk anggaran pendapatan dan belanja desa.
Menurut data Kementerian Keuangan, alokasi dana desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015-2020 sudah mencapai Rp 329,74 triliun. Pada APBN 2015, dana desa yang dialokasikan sebesar Rp 20,76 triliun, kemudian menjadi 46,9 triliun pada 2016, Rp 60 triliun pada 2017-2018, dan meningkat menjadi Rp 70 triliun pada 2019. Adapun pada 2020 meningkat lagi menjadi Rp 72 triliun. Maka, rata-rata pertumbuhan dana desa selama lima tahun adalah 28 persen dari alokasi APBN.
Dengan tren dana desa yang meningkat, diharapkan disparitas antara kota dan desa semakin tipis karena dana itu benar-benar dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur dasar desa. Pembangunan itu diharapkan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi desa dengan menstimulasi tumbuhnya sentra-sentra baru ekonomi desa.
Dengan dana desa sebesar Rp 329,74 triliun dari APBN sepanjang 2015-2020, semestinya capaian pembangunan desa dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa serta menekan disparitas ekonomi kota dan desa. Namun, sejauh ini, dana desa hanya memperlihatkan hasil yang datar.
Dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 16 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan dalam pidatonya bahwa kesenjangan antara kota dan desa semakin turun. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan rasio Gini dari 0,334 pada 2015 menjadi 0,317 pada 2019. Kesenjangan fiskal antardaerah juga menurun, dari 0,726 pada 2015 menjadi 0,597 pada 2018 berdasarkan indeks Williamson.
Dari alokasi dana sebesar Rp 329,74 triliun sepanjang lima tahun, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 28 persen dari APBN, rasio Gini turun hanya 0,017 persen. Hal ini menggambarkan belum optimalnya pemanfaatan dana desa. Semestinya kesenjangan fiskal antara kota dan desa yang turun 0,129 dari 2015 hingga 2018 akan berdampak lebih besar pada penurunan rasio Gini antara kota dan desa.
Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2019), persentase penduduk miskin di daerah perkotaan sebesar 6,69 persen pada Maret 2019, turun dari 6,89 persen pada September 2018. Sementara itu, di pedesaan, persentase penduduk miskin sebesar 12,85 persen pada Maret 2019, turun dari 13,10 persen pada September 2018. Meskipun penduduk miskin di kota dan desa turun, disparitas kemiskinannya masih tinggi.
Penyelewengan dana desa juga menjadi persoalan. Menurut data Indonesia Corruption Watch, pada 2015-2018, tren penyalahgunaan dana desa terus meningkat. Sedikitnya ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar. Artinya, setiap tahun, ada penyimpangan terhadap dana desa, meskipun setiap desa didampingi dua hingga tiga tenaga ahli yang mengawasi setiap program dan mata anggaran.
Selain itu, polemik mengenai desa fiktif penerima dana desa semakin memperparah pembangunan desa ke depan. Membayangkan ada desa imajiner dan tahapan pembahasan rancangan anggaran desa yang begitu runut hingga menjadi anggaran pendapatan dan belanja desa serta mendapat alokasi dana perimbangan dari pusat adalah hal yang mustahil.
Namun, buktinya, ada desa imajiner yang ikut menikmati dana desa dari APBN. Artinya, perencanaan dan pembahasan anggaran hingga menjadi peraturan desa berlangsung secara imajiner dan dilakukan oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota).
Semestinya, dengan tiga kementerian terkait, yakni Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Desa, pengelolaan dana desa sudah diatur lebih ketat dari sisi data, program, serta pengawasan. Masalahnya, tiga kementerian ini belum memiliki data yang mumpuni untuk memverifikasi keberadaan desa-desa yang diusulkan mendapatkan dana desa. Idealnya, Kementerian Desa mengatur program dan pengawasan, Kementerian Dalam Negeri mengatur administrasi kepemerintahannya, dan Kementerian Keuangan mengatur dari sisi tertib fiskal.
Masalah terbesar adalah belum tersedianya suatu data terintegrasi yang memungkinkan pengawasan secara menyeluruh. Dengan data yang lemah, ketiga kementerian ini tak akan mampu menjangkau desa-desa bodong yang selama ini menerima dana desa. Maka, ke depan, dibutuhkan data yang terintegrasi dan interkoneksi, yang memungkinkan kementerian terkait dapat memverifikasi tahapan pengajuan dana desa sesuai dengan wilayah kerja masing-masing.