Petrus Richard Sianturi
Kandidat Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM
Vonis bebas terhadap mantan Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basir, dalam kasus dugaan suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 cukup mengejutkan. Sebagian pihak menyebutkan bahwa vonis bebas terhadap Sofyan menjadi dasar untuk menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi memang telah gagal.
Dalam kasus ini, meski nama Sofyan kerap disebut dalam persidangan, nyatanya hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan Sofyan tidak terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan jaksa KPK. Jaksa mendakwa Sofyan diduga mengetahui dan memfasilitasi pemberian uang kepada salah satu partai politik. Dakwaan jaksa menggunakan Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 56 ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP. Pasal terakhir adalah pasal tentang pembantuan (medeplichtigheid).
Atas dasar itu, KPK meyakini bahwa Sofyan menjadi salah satu pihak yang telah melakukan tindak pidana korupsi. Namun hakim mengatakan sebaliknya. Dalam pertimbangan putusan disebutkan bahwa tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan dari Sofyan dalam konteks pembantuan sebagaimana dakwaan jaksa.
Menurut Simons (1937), pembantuan merupakan keikutsertaan yang tidak berdiri sendiri (zelfstandige deelneming): orang dianggap telah melakukan pembantuan jika pelaku utamanya terbukti melakukan tindak pidana. Hal penting kedua adalah perlunya dicari unsur kesengajaan (opzet). Dalam kasus Sofyan, perlu dikonstruksikan apakah, misalnya, upaya mempertemukan para terdakwa dalam kasus itu merupakan suatu unsur kesengajaan.
Dalam kacamata hukum, putusan itu harus dihormati sesuai dengan asas res judicata pro veritate habetur, yakni putusan pengadilan harus dianggap benar sampai ada putusan lain yang mengubah sebaliknya. Namun kasus Sofyan ini sendiri tidak berarti otomatis selesai begitu saja. Ada beberapa implikasi terhadap proses penegakan hukumnya.
Pertama, hanya ada tiga kemungkinan putusan dalam kasus pidana, yaitu putusan bebas, lepas, atau dipidana. Kedua, terkait dengan poin pertama, putusan bebas atas terdakwa korupsi seperti kasus Sofyan adalah hal biasa. Sayangnya, dengan budaya kesadaran hukum yang rendah, beberapa pihak cepat-cepat membuat kesimpulan, seperti KPK sudah gagal atau KPK sudah kalah.
Ketiga, setiap putusan pengadilan memiliki konsekuensinya sendiri. Dalam kasus Sofyan, meskipun dia dinyatakan bebas, jaksa KPK memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan itu belum berkekuatan hukum tetap meskipun Sofyan harus dibebaskan sebagaimana perintah putusan.
Tiga implikasi itu adalah penalaran hukum biasa untuk memahami sebuah pola penegakan hukum, termasuk kasus tindak pidana korupsi. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa karena Sofyan bebas sehingga seolah-olah KPK nyata-nyata sudah "gagal" adalah bentuk lompatan berpikir yang salah kaprah. Kesimpulan itu tidak kuat.
Perlu diingat, pada 2012, mantan Wali Kota Bekasi, Mochtar Muhammad, yang sebelumnya diputus bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung, akhirnya divonis bersalah 6 tahun penjara oleh MA setelah jaksa KPK mengajukan kasasi. Pada 2016, Bupati Rokan Hulu Suparman juga sempat divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Namun, di tingkat kasasi, MA menghukumnya 6 tahun penjara.
Jika jaksa mengajukan kasasi dalam kasus Sofyan, kemungkinannya hanya dua: putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dikuatkan sehingga Sofyan memang bebas atau, sebaliknya, dibatalkan sehingga Sofyan menjadi terpidana. Karena bentuknya kemungkinan, kita tidak boleh cepat-cepat berasumsi, apalagi menyudutkan penegak hukum, termasuk KPK.
Lagi pula, usulan kepada komisioner KPK untuk membentuk majelis etik agar memeriksa penyidik-penyidik KPK dalam perkara a quo sama sekali tidak relevan. Selain karena putusan ini belum selesai, proses penanganan sebuah kasus korupsi tidak serta-merta berbeban hanya kepada penyidik, termasuk karena dugaan adanya abuse of power.
Kontrol ketat terhadap KPK adalah hal yang tidak bisa dibantah. KPK tetap perlu memastikan bahwa komitmen penegakan hukum dalam kasus korupsi tidak malah kontraproduktif, misalnya dengan adanya oknum-oknum KPK yang bermasalah.
Berkaca dari putusan bebas Sofyan, jelas bahwa penegakan hukum korupsi tetap harus diperkuat. KPK harus memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan agar legitimasi dalam pembelaan terhadap KPK semakin kuat. KPK juga perlu memastikan dirinya berbenah diri agar secara formal-prosedural tidak mudah diganggu koruptor dan kroni-kroninya.
Kini, jika jaksa KPK melakukan kasasi, MA perlu memeriksa perkara ini benar-benar, khususnya perihal penerapan hukum ihwal pembantuan. Ihwal "adanya unsur dengan sengaja" harus diperhatikan betul, khususnya secara material dan intelektual sebagaimana diistilahkan Simons. Penanganan kasus ini menjadi ujian bagi MA untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat atas penegakan hukum yang adil, konsisten, dan tegas terhadap pelaku-pelaku tindak pidana korupsi.
Kita harus proporsional. Tidak ada tendensi untuk mendukung atau menolak putusan bebas ini. Yang jauh lebih penting adalah setelah putusan ini dikeluarkan, perdebatan atas penegakan hukum dalam kasus korupsi harus semakin terarah.