REFORMA agraria yang digagas Presiden Joko Widodo semestinya dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik lahan di masyarakat. Konflik agraria akan tetap subur jika kebijakan pemerintah tentang pertanahan tak mengurai akar masalah yang ada.
Pemerintah seharusnya memulai reforma agraria dengan menyelesaikan konflik lahan, yang melibatkan masyarakat dengan negara dan korporasi. Pemerintah terlebih dulu harus mencabut izin tanah yang disengketakan untuk kemudian dikuasai. Setelah itu, lahan didistribusikan kembali ke masyarakat yang kehilangan tanah. Dalam praktiknya, penyelesaian seperti ini berlarut-larut karena pemerintah enggan memberikan tanah yang disengketakan kepada masyarakat jika perusahaan yang diduga mencaplok lahan warga tak memberikan izin. Perusahaan enggan memberikan tanah kepada masyarakat secara cuma-cuma.
Penyelesaian konflik harus menjadi prioritas utama program reforma agraria. Organisasi non-pemerintah, Konsorsium Pembaruan Agraria, mencatat terjadi 1.771 kasus konflik agraria di era pemerintahan Jokowi pada 2015-2018. Jumlah tersebut melampaui kasus serupa di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang sebanyak 1.520 kasus. Konsorsium mencatat konflik di era Jokowi yang menewaskan 41 orang, termasuk pegiat hak asasi manusia.
Kebijakan pemerintah yang tidak melibatkan masyarakat dalam pemberian izin, baik kepada badan usaha milik negara, proyek pemerintah, maupun perusahaan swasta, menjadi penyebab utama konflik agraria. Sering kali pemerintah menerbitkan hak guna usaha atau izin tambang, padahal di atas lahan tersebut terdapat perkampungan serta masyarakat yang menggarap lahan.
Jokowi gencar memberikan sertifikat jutaan hektare lahan. Meski sertifikasi tanah tetap dibutuhkan untuk menghindari sengketa lahan, program itu semestinya tidak menjadi agenda utama reforma agraria. Pembagian sertifikat selama ini dilakukan terhadap tanah yang jelas pemiliknya. Bila tujuan sertifikasi adalah menyelesaikan konflik agraria, sertifikat semestinya diberikan kepada masyarakat yang tanahnya berada dalam pusaran konflik.
Kebijakan agraria Indonesia selama ini masih didominasi kerangka berpikir developmentalistik, yang memandang sumber agraria dan alam sebagai aset pembangunan. Pembangunan ini lebih cenderung mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, meski harus menggusur manusia dan merusak alam. Alih-alih mendapat kesejahteraan, masyarakat yang mengganggu jalannya pembangunan digusur. Sedangkan pembangunan industri atau infrastruktur menyisakan kerusakan alam.
Kasusnya sering kali lebih kompleks dari itu. Dalam banyak kasus proyek pariwisata dan berbagai macam jenis proyek hijau, misalnya, terjadi kombinasi cara pandang developmentalistik dan konservasionistik. Sumber agraria sebagai aset boleh dijadikan komoditas. Dengan kedok konservasi dan pelestarian lingkungan, hak dasar masyarakat adat atau masyarakat setempat boleh digusur dan diabaikan. Pemerintah perlu mengubah cara pandangnya dalam menjalankan reforma agraria dengan sungguh-sungguh menjaga keseimbangan hubungan antarmanusia serta antara manusia dan alam.
Pemerintah harus waspada karena angka konflik agraria masih tinggi. Ada 410 konflik agraria pada tahun lalu, yang sebagian besar terjadi di sektor perkebunan. Konflik-konflik tersebut akan menjadi bom waktu jika tidak diurus dengan tepat.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 12 November 2019