Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Penyidik

image-profil

Oleh

image-gnews
Iklan

Seorang penyidik bukanlah orang yang mendapat wahyu Tuhan. Setidaknya saya berbicara tentang Sherlock Holmes, detektif termasyhur dalam cerita-cerita Arthur Conan Doyle. Juga tentang Romo Brown, pastor Katholik yang memecahkan kasus-kasus kejahatan dalam fiksi G.K. Chesterton.

Ceritanya mengasyikkan karena ia bukan (dan tanpa) petunjuk agama. Agama menyatakan diri punya semua jawab; cerita detektif justru berangkat dengan pertanyaan: siapa yang melakukan X? Bagaimana caranya? Apa motifnya?

Baca Juga:

Dan lahirlah suspens. Pembaca diletakkan atau meletakkan diri dalam posisi "aku-belum-tahu" dan bergerak ke dalam "aku-ingin-tahu" tentang apa yang berikutnya. Suspens adalah ketegangan yang mendorong cerita ke masa depan yang entah apa nanti.

Ia membuat kita betah. Bayangkan kita baca sebuah cerita yang langsung mengungkapkan siapa sang pencuri dan bagaimana perbuatan itu dilakukan-berbeda dengan misalnya yang dengan memikat dikisahkan Suman Hs. dalam Mencari Pencuri Anak Perawan. Novel ini jelas bukan narasi yang mengikuti model ajaran yang memberitahukan masa depan yang tanpa entah, yang akan membuat kita berhenti sebelum halaman ke-10. Tak ada kejutan lagi.

Itu sebabnya hampir tiap cerita detektif yang tamat kita baca tak akan menarik dinikmati ulang: toh kita sudah tahu siapa pembunuh di dalam kereta api Orient Express dalam cerita Agatha Christie. Kecuali jika narasi yang kita ikuti tiap kali segar kembali, seperti Tinker, Tailor, Soldier, Spy, novel spionase John le Carre. Di ujungnya terungkap siapa agen Soviet yang ditanam jauh di dalam dinas rahasia Inggris, tapi kita akan tetap senang membalik-balik halamannya lagi (atau menonton versi filmnya): Tinker tak hanya melukiskan proses bagaimana misteri dipecahkan, tapi juga, dengan gaya bertutur yang nyaman dan sesekali menyentuh, ini kisah manusia yang lemah tapi tegak karena kewajiban dan yang bercita-cita luhur tapi siap berkhianat.

Kisah spionase Le Carre, seperti cerita detektif Arthur Conan Doyle, Agatha Christie, atau G.K. Chesterton, memukau karena sepenuhnya tentang kejatuhan dan kemampuan manusia tanpa intervensi Tuhan. Kalaupun ada iman, semua di dasar yang lamat-lamat, atau dalam pigura rasionalitas. Dalam The Blue Cross, Romo Brown mengecam Flambeau: "Kamu menyerang akal. Itu theologi yang buruk." Dalam fiksi Chesterton, seorang Katholik yang yakin, Romo Brown beberapa kali mengejek orang yang menerima begitu saja penjelasan supernatural.

Di akhir 1920-an, ketika cerita detektif mulai berkembang, di Inggris ada sebuah perhimpunan penulis cerita detektif, London Detection Club. Anggotanya antara lain Agatha Christie dan Chesterton. Di sana ada sejenis sumpah: mereka tak akan menulis cerita dengan memakai "wahyu ilahi", "sihir dan sulap"(Mumbo-Jumbo), atau "tindakan Tuhan".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahkan tak boleh dipakai "intuisi feminin". Kita ingat Sherlock Holmes. Ia, yang hidup tanpa menikah dan tak pernah tertarik perempuan, dengan bangga menyatakan keyakinannya kepada kekuatan intelek, bukan intuisi. Dalam The Adventure of the Mazarin Stone ia berkata, "Aku ini sebongkah otak, Watson. Selebihnya hanya tambahan." Ia bahkan pernah mengatakan, dalam The Naval Treaty, seraya mengagumi indahnya setangkai mawar, bahwa "agama dapat dibangun sebagai sebuah ilmu pasti bagi orang yang menggunakan akal" (the reasoner).

Cerita detektif adalah sebuah indeks datangnya dunia modern dan rasionalisme. Novel termasyhur Il nome della rosa Umberto Eco, yang membenturkan fanatisme agama dengan sikap ilmiah dalam kisah pembunuhan di biara abad ke-12, juga menandai datangnya semangat yang "sekuler".

Di Indonesia abad ke-20, tokoh utama Mencari Pencuri Anak Perawan (terbit 1932) adalah orang yang pintar yang disebut "Sir Jon"; kata "Sir" itu dipasang karena ia sering menggunakan kata Inggris. Ia lelaki lajang yang tinggal sendiri, hanya bersama seorang pembantunya, di sebuah kota pantai, bukan dusun pedalaman. Di sana berbagai etnis dan agama hidup berbaur dan sesekali dipererat pertandingan sepak bola. Sir Jon berani mengabaikan kekuasaan orang tua kepada anak angkatnya, seorang gadis yang disebut "Nona": dengan siasat yang amat rapi, Jon menculiknya.

Tiga tahun sebelumnya, di Surabaya terbit dua jilid novel karya Ong Hap Djin, Kang Lam Yau?... atawa Si Boeroeng Walet dari Kang Lam. Saya memperoleh bahan tentang cerita detektif ini dari Doris Jedamski, yang menulis dengan menarik dalam Clearing A Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature (ed. Keith Foulcher & Tony Day, 2002). Tokohnya, Wat Song, disebut sebagai "Sherlock Holmes dari Timur". Ia, seperti detektif London itu, didampingi seorang teman dan pembantu, Pouw Long. Wat Song menyadari hidupnya sebagai detektif "partikelir" meniru-niru orang di Eropa. Tapi ia tahu dalam proses penyidikan ada hal yang berbeda yang harus diperhatikan seorang detektif Surabaya, misalnya dalam hal "sepatoe jang bangsa kita pake". Meskipun demikian, ia tetap mengatakan, "Peladjaran, pendapetan, pengetahoean dan laen-laen sebaginya jang modern, ampir semoeanja dateng dari djoeroesan koelon-Europa-…Ilmoe detective adalah sala satoe diantara itoe pengetahoean modern."

Pengakuan seperti ini langka di Indonesia awal abad ke-20-juga sekarang. Tapi siapa yang menggemari cerita detektif akan tahu, Wat Song bukan omong kosong. Di dasar tiap penyidikan, asumsinya adalah tak ada kegaiban; bekalnya adalah tak gentar pertanyaan. Detektif Wat Song: sebuah sikap tanpa dogma.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


17 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

23 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.