SEBAGAI pengusaha yang tidak terikat pada partai politik mana pun, terpilihnya Erick Thohir menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara memberikan harapan positif. Dia mesti menggunakan wewenang sebaik-baiknya untuk membenahi perusahaan negara demi kepentingan yang luas, bukan sekadar sebagai alat politik penguasa atau sarana balas budi.
Ujian pertama bagi pendiri Mahaka Group ini adalah memilih profesional yang kompeten untuk posisi direktur dan direktur utama di sejumlah perusahaan negara. Yang paling mendesak adalah jabatan direktur utama di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero). Direktur utama kedua perusahaan itu, Kartika Wirjoatmodjo dan Budi Gunadi Sadikin, ditunjuk Presiden Joko Widodo membantu Erick sebagai wakil menteri.
Posisi direktur utama di PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk juga masih kosong semenjak Suprajarto, eks Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, menolak ditempatkan di sana. Posisi lainnya adalah direktur utama di PT PLN dan PT Perkebunan Nusantara III, yang kosong setelah pemimpin utama kedua perusahaan itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu.
Kursi-kursi panas tersebut harus diisi orang yang kredibel dan mampu memperbaiki kinerja perusahaan. Sebanyak 118 perusahaan milik negara dengan total aset Rp 8.092 triliun seyogianya menjadi alat negara untuk mengelola ekonomi demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Prinsip paling penting yang mesti dipegang kuat oleh Erick adalah meritokrasi. Selain mampu secara profesional, pemimpin perusahaan negara harus memiliki rekam jejak yang baik. Pengisian direksi yang sembrono, hanya berdasarkan kedekatan dan kepentingan kelompok tertentu, seperti yang dilakukan Menteri BUMN sebelumnya, Rini Soemarno, mesti dihindari karena merusak perusahaan.
Setidaknya sepuluh pejabat perusahaan negara ditangkap dan dijadikan tersangka oleh KPK sepanjang periode kepemimpinan Rini. Yang terbaru adalah Direktur Utama PT Industri Telekomunikasi Indonesia Darman Mappangara, yang menjadi tersangka pada awal Oktober lalu. Darman diduga memberikan suap sekitar Rp 1 miliar kepada Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II (Persero) Andra Y. Agussalamyang lebih dulu menjadi tersangka KPKagar mendapatkan sejumlah proyek dari Angkasa Pura II.
Tanpa upaya serius menjalankan prinsip tata kelola yang baik, petinggi perusahaan negara bisa jadi akan kembali terperosok menjadi pesakitan, lalu masuk penjara. Dalam catatan KPK, pada 2004-2018 saja 56 direktur BUMN/BUMD tersangkut korupsi. Jangan sampai Erick mengulangi kesalahan Rini. BUMN harus dikelola secara transparan dan akuntabel, mengikuti aturan tata kelola perusahaan negara yang baik.
Selanjutnya, Erick juga perlu mengawal visi BUMN supaya tidak terjebak pada kapitalisme negara. Tentu saja perusahaan negara mesti dikelola secara baik sehingga terus membesar dan memberikan keuntungan. Tapi jangan sampai, dengan keuntungannya sebagai milik negara, BUMN malah menjadi monster yang mencekik swasta.
Mengacu pada konstitusi, perusahaan negara sebaiknya lebih berfokus pada bidang yang penting bagi masyarakat dan menguasai hajat hidup orang banyak, seperti energi, transportasi, dan air minum. Bidang lainnya serahkan saja kepada swasta. Bagaimanapun, perekonomian kita membutuhkan topangan sektor swasta agar kuat dan terus tumbuh.
Catatan:
Ini merupakan artikel majalah tempo edisi 04-10 November 2019