Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Jangan Mekarkan Papua

Oleh

image-gnews
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba di Lapangan Bola Irai, Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, Ahad, 27 Oktober 2019. Foto: Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba di Lapangan Bola Irai, Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, Ahad, 27 Oktober 2019. Foto: Kris - Biro Pers Sekretariat Presiden
Iklan

RENCANA pemekaran Provinsi Papua dengan mendirikan provinsi baru di wilayah selatan Papua membuktikan ketidakmampuan pemerintah pusat memahami akar masalah di sana. Kebijakan itu mungkin memuaskan keinginan sebagian elite di Papua, tapi jelas tak bakal menyelesaikan keresahan yang dialami sebagian besar warga Papua selama bertahun-tahun.

Pada periode pertama pemerintahannya, Presiden Joko Widodo sudah mencoba menyelesaikan masalah Papua dengan pendekatan ekonomi. Pembangunan infrastruktur, terutama Jalan Trans Papua, diharapkan bisa mengurangi ketimpangan pendapatan dan memicu pertumbuhan. Namun kerusuhan yang meletus di banyak wilayah Papua sejak Agustus hingga Oktober lalu membuktikan pola itu tidak efektif.

Karena itu, sungguh mengherankan jika pemerintah tidak mengevaluasi kebijakannya dan mencari alternatif solusi yang lebih baik. Pemekaran provinsi umumnya dilakukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dan mendekatkan struktur pemerintahan dengan warga. Memekarkan Papua berarti pemerintah lagi-lagi memilih politik redistribusi kesejahteraan. Padahal yang dituntut orang Papua adalah politik pengakuan bahwa derajat dan martabat mereka sebagai warga asli dan pemilik hak ulayat di sana telah dilecehkan bertahun-tahun.

Tak bisa dimungkiri, sebagian besar pemekaran wilayah yang terjadi setelah reformasi 1998 memang dipicu oleh tuntutan politik. Tapi kekeliruan itu belakangan dikoreksi setelah Kementerian Dalam Negeri dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menemukan 80 persen dari 223 daerah otonomi baru gagal memperbaiki kualitas pelayanan publik. Karena itulah sejak 2014 diberlakukan moratorium untuk pemekaran daerah baru. Tanpa kajian yang mendalam dan persiapan yang matang, mendirikan Provinsi Papua Selatan hanya akan mengulangi cerita kegagalan di daerah-daerah lain.

Sejauh ini, hasil riset yang ada tak terlampau menggembirakan. Sejumlah penelitian menunjukkan daerah hasil pemekaran justru membebani keuangan negara. Pendirian provinsi dan kabupaten baru pasti membutuhkan pembangunan berbagai kantor pemerintah serta penempatan tambahan aparat kepolisian dan pasukan militer. Walhasil, yang diuntungkan oleh pemekaran Papua hanya segelintir elite yang kini punya kesempatan berebut kursi kepala daerah, berbagai jabatan di kedinasan, dan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Bukan hanya itu, pemekaran juga bisa memicu konflik. Tengok saja pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa, Sulawesi Selatan, yang berujung rusuh. Juga pemekaran Kabupaten Luwu Tengah pada 2013 yang diwarnai unjuk rasa dan bentrokan hingga satu orang tewas. Di wilayah yang menyimpan bara dalam sekam seperti Papua, potensi kerusuhan akibat pemekaran pasti jauh lebih tinggi. Ini harus menjadi pertimbangan pemerintah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekali lagi, penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua harus berangkat dari akarnya. Hasil penelitian bersambung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2009 dan 2017) yang memetakan empat akar konflik Papua bisa dipakai sebagai dasar. Selain soal sejarah dan status integrasi Papua yang kontroversial, ada masalah pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan oleh aparat negara yang belum diselesaikan secara adil. Marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua dan kegagalan pembangunan di Papua juga dipersoalkan.

Pemecahan terbaik untuk menyelesaikan masalah Papua saat ini hanya mungkin dicapai melalui dialog. Memang melelahkan dan tak mudah, tapi proses ini harus dimulai dan dijalankan secara konsisten.

Catatan:

Ini merupakan artikel majalah tempo edisi 04-10 November 2019

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

51 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.