Vonis bebas terhadap mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara, Sofyan Basir, amat mengherankan. Ia dinyatakan tidak terlibat korupsi kendati fakta persidangan menunjukkan sebaliknya. Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan kasasi perlu didukung karena bebasnya Sofyan bukan akibat dakwaan yang lemah.
Sofyan dinyatakan bebas dari segala tuntutan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Majelis hakim yang dipimpin Hariono menegaskan terdakwa tak terbukti membantu atau memberi kesempatan kepada orang lain untuk korupsi. Ia juga dinyatakan tidak mengetahui adanya suap dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.
Dengan kata lain, sebagai bos PLN, terdakwa dinilai tidak tahu-menahu soal suap yang diberikan oleh pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo demi mempermulus proyek itu. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Eni Maulani Saragih, misalnya, terbukti menerima fee Rp 4,75 miliar dari Kotjo. Politikus Golkar ini telah divonis 6 tahun penjara gara-gara kasus tersebut.
Politikus dari partai yang sama, Idrus Marham, juga terjerat kasus tersebut dan dihukum 5 tahun penjara. Adapun Kotjo, yang semula divonis 2 tahun 8 bulan penjara, diperberat hukumannya menjadi 4,5 tahun penjara di tingkat banding pada Februari 2019.
Penyidik KPK sebetulnya memiliki bukti dan kesaksian yang kuat mengenai keterlibatan Sofyan. Dalam persidangan, jaksa telah mengungkapkan serangkaian pertemuan terdakwa dengan Eni dan Kotjo untuk membahas proyek tersebut. Pertemuan itu antara lain terjadi di Hotel Fairmont, Jakarta, pada 6 November 2017. Di sana Sofyan, Eni, dan Kotjo membahas masa pengendalian proyek itu oleh perusahaan pemegang kontrak.
Pertemuan antara Sofyan dan Eni bahkan masih terjadi sepuluh hari sebelum politikus ini dicokok KPK lewat operasi tangkap tangan pada pertengahan Juli tahun lalu. Tak cuma dibeberkan dalam sidang kasus Sofyan Basir, serentetan pertemuan yang mengindikasikan keterlibatan terdakwa juga masuk dalam berkas putusan para pelaku yang sudah divonis.
Itulah mengapa vonis bebas Sofyan sungguh janggal. Apalagi jaksa KPK menjerat terdakwa dengan pasal berlapis. Selain menerapkan delik suap, jaksa menggunakan Pasal 56 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Aturan ini menjerat siapa pun yang "dengan sengaja memberikan kesempatan" untuk melakukan suatu kejahatan.
Jaksa juga melengkapinya dengan Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang bisa menjaring "setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk korupsi". Dengan dakwaan seperti ini, semestinya terdakwa sulit lolos. Soalnya, jaksa tidak perlu membuktikan bahwa Sofyan kecipratan fee atas proyek PLTU tersebut.
Langkah KPK mengajukan kasasi bukan hanya agar jerih payah tim penyidik tidak sia-sia, tapi yang lebih penting lagi adalah demi menegakkan keadilan dan kepastian hukum.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 06 November 2019