INILAH akibatnya jika Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi dibuat secara tertutup dan terburu-buru. Dalam hal Dewan Pengawas, misalnya, selain ketentuan yang bertabrakan satu sama lain, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ini memberikan kewenangan sangat besar kepada presiden untuk mengendalikan komisi antikorupsi melalui lembaga baru tersebut.
Menurut pasal 37E undang-undang tersebut, ketua dan anggota Dewan Pengawas yang akan bekerja selama empat tahun dipilih presiden melalui panitia seleksi. Namun, ketentuan lainnya, yakni di pasal 69A, menyebutkan-untuk pertama kalinya presiden yang menunjuk ketua dan anggota Dewan Pengawas. Poin kedua pasal itu juga terkesan mengistimewakan aparat penegak hukum. Padahal pasal sebelumnya menyebutkan setiap orang yang memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi Dewan Pengawas.
Dewan Pengawas periode pertama ini akan mulai bekerja berbarengan dengan komisioner periode 2019-2023. Akhir pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengaku sudah mengantongi nama-nama kandidat anggota Dewan Pengawas. Jokowi memastikan untuk pemilihan periode pertama ini tidak melalui panitia seleksi. Pelantikan lima anggota Dewan Pengawas tersebut dilakukan bersamaan dengan pelantikan komisioner baru pada 21 Desember mendatang.
Pernyataan Jokowi ini menegaskan statement sebelumnya bahwa ia tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK. Sejak disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, undang-undang ini menuai polemik karena dianggap melemahkan komisi antirasuah. Sejumlah tokoh nasional dan lembaga pegiat antikorupsi mendesak Jokowi menerbitkan perpu. Ketentuan yang paling disorot dan dipersoalkan adalah pembentukan Dewan Pengawas.
Selain tidak perlu karena pengawasan internal KPK sudah berjalan dengan baik, keberadaan Dewan Pengawas ini salah kaprah. Lembaga tersebut tidak hanya bertugas melakukan pengawasan, tapi juga berwenang dalam bidang penindakan, seperti memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Dengan kewenangan sebesar ini, Dewan Pengawas dengan mudah mengendalikan komisi antikorupsi.
Dalih pemerintah bahwa Dewan Pengawas ini bertujuan mencegah penyalahgunaan wewenang oleh komisi antikorupsi terkesan dibuat-buat. Dengan kewenangannya yang besar, justru Dewan Pengawas-lah yang berpotensi menyalahgunakan wewenang. Kekhawatiran lain: lembaga ini bisa menjadi alat penguasa untuk mengintervensi dan melemahkan KPK. Relasi kekuasaan seperti ini sangat berbahaya karena komisi antikorupsi akan tunduk kepada presiden. Kecurigaan tersebut menguat karena ketua dan anggotanya dipilih langsung oleh presiden.
Pemilihan Dewan Pengawas melalui panitia seleksi juga tak menjamin lembaga ini bakal independen. Ini terbukti pada sistem seleksi pemimpin KPK 2019-2023. Ketua KPK terpilih, Inspektur Jenderal Firli Bahuri, misalnya, diragukan independensinya karena dia merupakan perwira tinggi polisi aktif. Dia produk dari panitia seleksi yang sebagian anggotanya merupakan staf dan pengajar kepolisian.
Lebih banyak mudaratnya, Dewan Pengawas mesti ditolak. Satu-satunya cara untuk membatalkan keberadaan Dewan Pengawas sepertinya hanya uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Lupakan bakal terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Mahkamah saat ini sedang menyidangkan permohonan uji materi yang diajukan pegiat antikorupsi. Kini, harapan itu kita gantungkan pada Mahkamah Konstitusi.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 05 November 2019