MENTERI Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo harus ekstra-hati-hati dalam mengevaluasi larangan penggunaan jaring cantrang dan transshipment. Kedua kebijakan ini terbukti memiliki andil terhadap kelestarian dan peningkatan stok ikan di lautan Indonesia, serta menyebabkan pengurangan angka penyelundupan ikan ke luar negeri. Jangan sampai Menteri Edhy salah mengkaji karena, mengutip pernyataan Presiden Jokowi dalam acara Our Ocean Conference (OOC) 2018 di Nusa Dua, Bali, "Laut adalah masa depan kita."
Edhy menyampaikan rencana untuk mengevaluasi larangan cantrang dan transshipment itu pada pekan lalu. Kedua larangan tersebut diterbitkan pada era Menteri Susi Pudjiastuti. Cantrang dilarang Susi karena jenis jaring ini tidak ramah lingkungan. Jaring ini menggaruk dasar laut dan menangkap makhluk laut tanpa pandang bulu. Adapun transshipment atau kegiatan alih muatan ikan di tengah laut diharamkan Susi karena selama ini menjadi modus pencurian ikan laut Indonesia untuk dijual ke pasar luar negeri.
Evaluasi yang ekstra-hati-hati diperlukan karena ada bukti yang menunjukkan bahwa larangan jaring cantrang terbukti pro-lingkungan dan berdampak baik bagi kelestarian laut. Bukti itu berupa peningkatan keberlimpahan ikan di laut Indonesia. Data KKP menunjukkan, stok ikan di laut Indonesia meningkat dua kali lipat lebih, dari 6,5 juta ton pada 2014 menjadi 13,1 juta ton pada 2018. Jenis-jenis ikan yang selama 10 tahun terakhir jarang tertangkap nelayan kini juga sudah mulai banyak lagi.
Harus diakui, kebijakan Susi melarang jaring cantrang memunculkan masalah. Sejumlah nelayan pemakai cantrang mengeluhkan kebijakan ini, karena membuat mereka tak bisa melaut. Namun pemerintah tak boleh mengabaikan banyaknya nelayan yang malah bersyukur atas aturan ini, terutama nelayan kecil, karena hilangnya cantrang membuat ikan berlimpah dan mereka lebih gampang menangkap ikan. Karena itu, seharusnya fokus evaluasi KKP soal cantrang ini adalah pada upaya untuk mempercepat penggantian jaring cantrang, yang programnya pada era Susi belum berjalan baik.
Soal larangan transshipment juga dikeluhkan nelayan. Para nelayan mengatakan pengalihan muatan di laut bisa menghemat bahan bakar hingga 75 persen. Soalnya, nelayan tak perlu membawa ikan ke darat. Namun, seperti halnya cantrang, penghentian transshipment terbukti berhasil mengurangi keluarnya ikan Indonesia ke luar negeri secara ilegal. Ekspor perikanan nasional juga terbukti tak menurun, malah meningkat dari US$ 1.345,28 juta pada 2015 menjadi US$ 1.520,95 juta pada 2019. Harus pula diingat pelarangan transshipment sebenarnya juga dimaksudkan untuk membuat produk ikan Indonesia dipasarkan ke luar negeri setelah diolah, sehingga memiliki nilai tambah dan membuka lapangan kerja.
Memang, potensi ikan di lautan Indonesia masih jauh lebih besar daripada yang bisa dimanfaatkan. Menurut hitungan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, potensinya senilai US$ 1,2 triliun (Rp 16.786,8 triliun) per tahun. Namun laut adalah kekayaan alam yang berbeda dengan, misalnya, bahan tambang. Kekayaan laut bisa diperbarui, namun untuk itu perlu ada manajemen pemanfaatan yang lestari. Tak bisa asal jaring.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 04 November 2019