Petrus Richard Sianturi
Kandidat Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Untuk periode kedua kepemimpinannya, Joko Widodo telah berjanji akan memprioritaskan penegakan hukum, yang disampaikan saat kampanye pemilihan presiden. Persoalan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi isu sentralnya.
Jokowi dan wakilnya, Ma’ruf Amin, menekankan "penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya"; melanjutkan penataan regulasi; melanjutkan reformasi sistem dan proses penegakan hukum; pencegahan dan pemberantasan korupsi; penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi; serta mengembangkan budaya sadar hukum. Poin-poin inilah yang perlu diperhatikan.
Untuk menjawab tantangan kejahatan korupsi, Jokowi menekankan dengan tegas bahwa korupsi (termasuk kolusi, nepotisme, suap-menyuap, pungutan liar, dan pencucian uang) harus diberantas di segala lini. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan terus diperkuat dan didukung tanpa kompromi. Bahkan Jokowi menekankan perlunya sinergi antara KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, kepolisian serta kejaksaan.
Sayangnya, baru saja masyarakat dikejutkan oleh akrobat politik berupa revisi Undang-Undang KPK. Sejak usul revisi itu disampaikan kepada publik, penolakan besar muncul dari masyarakat. Nyatanya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap pada pendiriannya untuk merevisi undang-undang itu. Jadi, masih samakah komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi?
Selain itu, isu hak asasi, yang juga diangkat oleh Jokowi dalam kampanye pemilihan presiden 2014 dan 2019, menjadi bagian yang banyak dirincinya. Ada dua hal yang perlu dibahas. Pertama, soal penyelesaian setiappelanggaran hak asasi berat pada masa lalu,yang oleh Jokowi disebut sebagai "beban sosial-politik bangsa", seperti kerusuhan Mei 1998,tragedi Trisakti-Semanggi I dan II,penghilangan paksa, kasus Talang Sari, kasus Tanjung Priok,dan peristiwa 1965. Jokowi berkomitmen akan menyelesaikan secara berkeadilan untuk semua beban masa lalu itu, khususnya dengan menghapus segala bentuk impunitas dalam sistem hukum nasional.
Kenyataannya, setelah periode pertama kepemimpinan Jokowi selesai pun, belum kelihatan tanda-tanda penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi berat itu. Pemerintah belum melakukan usaha konkret dan berani dalam usaha "penyelesaian yang berkeadilan" tersebut. Alih-alih sebagai awal penyelesaian pelanggaran hak asasi dalam peristiwa 1965,misalnya, Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965pada 2016 malah tidak mendorong usaha lanjutan yang konkret.
Kedua, terkait dengan komitmen penegakan hak-hak dasar: jaminan hak beragama dan berkeyakinan serta hak atas kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan perlindungan hak adat. Sejauh ini, masih banyak pembiaran terhadap kelompok-kelompok radikaldan fanatik religius yang sewenang-wenang memaksakan kehendak mereka. Tindakan-tindakan brutal, seperti pembubaran ibadah dan diskriminasi bagi keyakinan/agama asli, masih terjadi.
Pada 2016, Wahid Foundation dan Lingkar Survei Indonesia mencatat ada 11 juta dari 150 juta penduduk muslim Indonesia yang bersedia melakukan tindakan radikal. Ini sesuatu yang membuat kita khawatir. Selain itu, pasal-pasal "karet" perundang-undangan kerap menjadi biang keladi munculnya ketegangan dalam hubungandi antara umat beragama, seperti pasal mengenai penodaan agama dan surat keputusan bersama tentang pendirian rumah ibadat.
Adriaan Bedner, profesor hukum dan masyarakat Indonesia di Universitas Leiden, Belanda, mengatakan ada dua elemen yang harus dijaga dan pada waktu yang sama harus diwujudkan dalam sebuah negara hukum. Pertama, elemen prosedural: tindakan negara tunduk pada hukum, legalitas formal (hukum bagi semua sama), dan demokrasi. Pengelolaan sebuah negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara hukum harus sepenuhnya dilandaskan pada asas-asas hukum demi menjamin masyarakat yang tertib, adil, dan bermartabat.
Kedua, elemen substantif: subordinasi semua aturan hukum dan interpretasinya terhadap prinsip-prinsip fundamental dari keadilan, perlindungan hak asasi dan kebebasan perorangan, serta pemajuan hak asasi sosial dan perlindungan hak kelompok. Dalam hal ini, hukum dimaknai bukan sekadar instrumen mati, melainkan landasan bernegara yang hidup dan dihidupi.
Dua elemen tersebut harus menjadi rujukan ulang bagi pemerintah Jokowi-Ma’ruf sekurang-kurangnya untuk menjalankan roda pemerintahan lima tahun ke depan. Ini diperlukan agar pemerintah benar-benar meletakkan konsentrasi yang besar pada bidang hukum, yang sejauh ini terasa diabaikan karena pemerintah berfokus pada bidang politik dan ekonomi.
Perlu dicatat bahwa komitmen pemerintah dalam bidang hukum akan berkerkaitan dengan dua hal: jaminan bahwa seluruh lini pembangunan nasional (baik ekonomi maupun politik) tidak bertentangan dan menjamin integritas Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan, tetap diakui. Untuk menjaga komitmen janji-janji kampanyenya, Jokowi harus menjaga konsistensinya.