Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Agenda Menuju Damai Papua

image-profil

image-gnews
TNI-Polri akan membangun pos pengamanan setiap 500 meter di Wamena yang bertujuan untuk memberikan rasa aman warga.
TNI-Polri akan membangun pos pengamanan setiap 500 meter di Wamena yang bertujuan untuk memberikan rasa aman warga.
Iklan

Komarudin Watubun
Anggota DPR Fraksi PDIP Dapil Papua

Perhatian pemerintah terhadap masalah Papua selalu hilang-timbul. Perhatian muncul ketika ada kerusuhan di Wamena, misalnya. Tapi kemudian hilang setelah kerusuhan reda. Itulah problem besar bangsa ini. Sengaja atau tidak, cepat lupa, terlupakan, dilupakan, atau melupakan. Padahal masalah besar Papua sudah lama menjadi bara yang dengan cepat meledak, terbakar, dan membesar, yang mengancam integritas bangsa. Walau berganti pemerintahan, sejak Papua bergabung ke pangkuan Republik Indonesia, pola "cepat lupa atau melupakan" selalu digunakan untuk meredam konflik.

Baca Juga:

Sengaja atau tidak, gaya negara mengelola Papua ini mirip media massa ketika mengemas pemberitaan atau isu. Padahal media massa sangat mungkin tidak mencerminkan kenyataan. Media bisa menyaring dan membentuk isu. Sederhananya, apa yang dipentingkan oleh media akan dipentingkan oleh publik. Apa yang dilupakan media akan dilupakan oleh publik. Begitulah cara kerja agenda setting media.

Gaya ini dilakukan oleh pemerintah terhadap Papua. Ketika Papua sedang dalam suasana "tenang", negara mengabaikan. Jika Papua "bergejolak", pemerintah pun seakan-akan paling sigap memadamkan kebakaran tanpa menyelesaikan akar dan sumber api tersebut. Pemerintah mulai mengirim pasukan, mengundang tokoh ke Istana, hingga menjanjikan pembangunan Istana di Papua, pucuk pimpinan keamanan berkantor di Papua, pergelaran seni dan budaya, dan sebagainya.

Gaya klasik ini secara tidak langsung "melecehkan" Papua. Bagi Papua, gaya begini juga mereka gunakan. Jika ingin diperhatikan, mereka membuat "perhatian", tidak hanya bagi negara, tapi juga dunia. Lalu mau sampai kapan begini terus?

Idealnya, negara memahami secara utuh problem mendasar dan menyelesaikan hingga ke akarnya secara bermartabat dan menyeluruh. Bermartabat berarti menjaga kehormatan semua pemangku kepentingan di Papua dan pusat. Tidak boleh ada salah satu pihak yang merasa kalah, tercoreng, malu, aib, dan hilang kehormatan. Menyeluruh berarti solusi ini menjadi komprehensif, mengakar, dan mengikat bagi semua kalangan.

Ada banyak kajian ihwal solusi atas masalah Papua. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia merupakan salah satu pihak yang secara komprehensif memberikan rekomendasi. Namun rekomendasi itu menguap begitu saja. Tak mengherankan jika publik Papua semakin apatis terhadap berbagai upaya penyelesaian konflik.

Masyarakat Papua sering membandingkan konflik di wilayahnya dengan konflik di Aceh. Jika di Aceh bisa selesai, mengapa di Papua tidak bisa? Apalagi salah satu rekomendasi solusi Papua dari LIPI adalah menggunakan cara penyelesaian konflik di Aceh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang, konflik Aceh tidak sama persis seperti di Papua. Struktur organisasi pergerakannya juga berbeda dan ada berbagai perbedaan lainnya. Wacana yang sering muncul adalah apa yang menjadi syarat dalam proses dialog atau perundingan, siapa yang mewakili Papua, siapa fasilitator, siapa mediatornya, di mana dilakukan perundingan, dan seterusnya. Sayangnya, langkah menuju hal itu tidak pernah serius dilakukan.

Hal lain yang sangat mendasar adalah menjauh atau tak acuhnya para pemangku kepentingan yang ada di Papua dan pusat terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Sayangnya, undang-undang ini hanya dilihat dari sisi angka ekonomi, bukan substansi dari sebuah upaya memposisikan Papua secara terhormat.

Sebenarnya undang-undang ini merupakan jalan terbaik dan demokratis dalam mengurai masalah di Papua sekaligus menjadi resep jitu untuk mengobati berbagai penyakitnya. Inti undang-undang itu adalah mencapai dua tujuan mulia. Pertama, terwujudnya kondisi penduduk lokal (orang asli) Papua sebagai bagian integral dari rakyat Indonesia yang memiliki kualitas sumber daya manusia sehingga mampu berperan sebagai subyek pembangunan dalam skala daerah, nasional, dan internasional. Kedua, terwujudnya pembangunan infrastruktur fisik dan nonfisik untuk membuka keterbatasan akses transportasi, komunikasi, informasi, kesehatan, dan pendidikan.

Namun pemerintah pusat dan daerah abai terhadap undang-undang ini. Akibatnya, Papua pun salah urus: kemiskinan, pengangguran, kekerasan negara, pelanggaran hak asasi, peredaran senjata ilegal, korupsi, pengelolaan hasil alam yang semrawut, penegakan hukum yang hampir tidak berjalan, dan sebagainya.

Alih-alih menyelesaikan masalah, sebagian pemerintah lokal justru memperumit masalah. Sayangnya, keadaan ini seakan-akan "dibiarkan" oleh pemerintah pusat. Hampir tidak ada pelaku koruptif di Papua yang tertangkap tangan. Hasil pemeriksaan atau audit dari pemeriksa keuangan negara seolah-olah tidak ada masalah. Bahkan ada kelakar hampir semua pemerintah daerah mendapatkan predikat WTP alias wajar tanpa pemeriksaan. Begitu pun dengan penegakan hukum, yang berada di posisi landai. Padahal ini merupakan bagian dari masalah besar yang harus segera diatasi untuk mengembalikan kepercayaan publik Papua kepada negara.

Sebanyak 70 persen rakyat Papua memilih Jokowi, baik dalam pemilihan presiden 2014 maupun 2019. Inilah kesempatan Jokowi untuk mengevaluasi dan membuat "setting" berbagai hal dalam mengatasi masalah Papua. Jika tidak, Jokowi hanya masuk daftar pemimpin yang gagal mengurus Papua.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.