Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Melihat susunan tim ekonomi dalam Kabinet Indonesia Maju, rasanya Presiden Joko Widodo akan kesulitan membangun landasan fundamental ekonomi nasional menuju Indonesia 2045, sebagaimana yang dicita-citakan dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober lalu. Digawangi oleh Airlangga Hartarto, yang rekam jejaknya terbilang kurang bagus dalam mencegah proses deindustrialisasi nasional selama lima tahun ke belakang, harapan Jokowi untuk meningkatkan kontribusi sektor industri dan jasa, terutama industri manufaktur, akan sulit terwujud.
Sejak menjabat Menteri Perindustrian, Airlangga tak banyak bicara soal strategi khusus tentang cara meningkatkan kontribusi sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB). Sampai 2018, kontribusi manufaktur terhadap ekonomi mencapai 19,86 persen dan menjadi yang terbesar di antara 16 sektor lainnya. Namun kontribusinya terus menurun, bahkan terpeleset sampai ke angka 19 persen, pertama kali terjadi sejak 1990.
Di Asia Tenggara, Indonesia memiliki porsi manufaktur yang relatif kecil. Data Bank Dunia pada 2017 menunjukkan Malaysia dan Thailand memiliki porsi lebih tinggi, masing-masing sekitar 22 persen dan 27 persen terhadap PDB. Memang, Indonesia masih lebih unggul dibanding Filipina dan Vietnam, yang mencatatkan 19,6 persen dan 15,3 persen. Jadi, sangat bisa dipahami mengapa perbaikan sektor industri manufaktur dijadikan salah satu kata kunci penting dalam pidato Jokowi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Namun pemilihan figur untuk duduk di posisi Kementerian Koordinator Perekonomian agak jauh dari cita-cita Jokowi tersebut, mengingat Airlangga tak berhasil memutus tren deindustrialisasi.
Di sisi lain, Airlangga justru sibuk mensosialisasi konsep industri 4.0 yang jauh meninggalkan fakta ketenagakerjaan nasional yang ternyata masih banyak berada pada era industri 3.0. Dengan kata lain, Airlangga agak kurang berhasil menjembatani perkembangan sektor industri dengan fakta ketenagakerjaan. Program vokasi masif Kementerian Perindustrian bisa menjadi salah satu solusi. Namun, di sisi lain, pertumbuhan industri berjalan lambat dan kontribusinya terus menurun. Ke depan, Airlangga sebaiknya punya cetak biru dan peta jalan ekonomi komprehensif yang jelas tentang bagaimana menjembatani rencana-rencana kebijakan ekonomi nasional dengan cita-cita Jokowi yang teramat tinggi tersebut.
Sementara itu, dari sisi Kementerian Keuangan, diperkirakan Sri Mulyani akan bertahan dengan gaya procyclical dan austerity-nya, efisiensi dari sisi belanja dan ekspansif dalam mengejar penerimaan pajak, serta membuka selebar-lebarnya peluang untuk institusi pembiayaan global penambal defisit fiskal nasional. Hal tersebut sangat bisa dipahami, mengingat efisiensi belanja dan intensifikasi-ekstensifikasi penerimaan pajak merupakan syarat utama untuk mendapatkan kemudahan utang global. Hanya, gaya Sri Mulyani akan membuat perekonomian nasional menjadi kian konservatif. Pertumbuhan ekonomi akan tetap bertengger di angka 5 persen, yang notabene akan sulit memberikan landasan fundamental bagi cita-cita Jokowi yang ingin keluar dari perangkap middle income trap.
Selanjutnya, kehadiran Erick Thohir di Kementerian Badan Usaha Milik Negara boleh jadi cukup memberi harapan, terutama harapan reformasi di tubuh banyak BUMN. Bukan hanya spirit baru dari seorang Erick yang diharapkan, tapi juga strategi dan cara baru dalam pembenahan BUMN nasional, mengingat Erick adalah tokoh muda yang pandangan dan wawasannya sangat kontekstual dengan perkembangan zaman. Namun ada sedikit persoalan di sini, terutama soal konflik kepentingan, mengingat Erick berasal dari dunia bisnis dan korporasi, yang keberpihakannya pada kepentingan tersampaikannya "barang publik" kepada rakyat banyak agak susah dijamin.
Begitu pula dengan kehadiran Wishnutama di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang agak mengecewakan. Platform kebijakan Wishnutama, sebagaimana kompetensinya selama ini, tak berbeda dengan menteri sebelumnya, Arief Yahya, yang lebih banyak bermain dengan pencitraan kepariwisataan, seperti merek, promosi, dan jualan. Padahal saat ini yang dibutuhkan adalah sentuhan pengembangan tujuan wisata berkelas internasional, komprehensif, dan terintegrasi untuk mematangkan ekosistem pariwisata nasional, sehingga mampu memperbesar raihan devisa, memperbesar kontribusi pariwisata pada PDB nasional, dan memperluas kesempatan kerja nasional melalui pengembangan sektor pariwisata.
Ringkasnya, khusus untuk tim ekonomi, rasanya Jokowi sedikit melenceng dari cita-citanya sendiri. Dengan susunan personel tim ekonomi Kabinet Indonesia Maju, Jokowi diperkirakan belum menghadirkan raihan angka ekonomi nasional yang bombastis. Padahal, untuk menghadapi bonus demografi dan keluar dari ancaman middle income trap, tidak cukup hanya dengan raihan yang biasa. Indonesia memerlukan angka pertumbuhan ekonomi 7-10 persen untuk keluar dari ancaman middle income trap dengan dukungan pertumbuhan investasi yang cukup tinggi pula.