Esther Sri Astuti
Direktur Program INDEF
Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada Ahad, 20 Oktober lalu, Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia akan masuk lima besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen dan produk domestik bruto mencapai US$ 7 triliun pada 2045. Mimpi Indonesia menjadi negara maju yang sejahtera dengan pendapatan Rp 320 juta per kapita per tahun bukan tidak mungkin diwujudkan jika kita bekerja keras dan menjalankan strategi yang tepat.
Bukti empiris menunjukkan bahwa Cina, misalnya, termasuk salah satu negara yang berevolusi dengan cepat. Hanya dalam 69 tahun sejak kemerdekaannya pada 1949, PDB Cina melesat tajam, dari US$ 59,7 miliar pada 1960 menjadi US$ 13,6 triliun pada 2018 (Bank Dunia, 2019). Indonesia pun dapat menggapai mimpi indah tersebut.
Setidaknya lima prioritas telah disampaikan Jokowi dalam pidatonya. Pertama, pembangunan sumber daya manusia yang terampil serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu bersaing di dunia global. Tantangan terbesarnya adalah meningkatkan kapasitas tenaga kerja. Badan Pusat Statistik (2019) menunjukkan mayoritas tenaga kerja masih berpendidikan rendah. Sebab, hanya 12,57 persen yang lulus universitas dan diploma, sementara yang berpendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah sebanyak 87,43 persen.
Jika Indonesia ingin menjadi negara yang kuat, pendidikan seharusnya dibentuk untuk memenuhi ambisi sebagai negara adidaya. Langkah konkretnya adalah meningkatkan enrolment ratio melalui program wajib sekolah, memperkecil kesenjangan gender di tingkat pendidikan tinggi, dan mengurangi ketimpangan antar-daerah, baik berupa sumber daya, kualitas guru, pendanaan, maupun kualitas sekolah.
Kedua, pembangunan infrastruktur akan dilanjutkan untuk mempermudah akses dari kawasan produksi ke kawasan distribusi serta kawasan wisata. Oxford Economies (2017) memprediksi pembangunan infrastruktur Indonesia di sektor transportasi (jalan, rel, laut, bandar udara) terus meningkat dari US$ 31 miliar pada 2020 menjadi US$ 40 miliar pada 2025. Namun pembangunan infrastruktur telekomunikasi relatif kecil dibandingkan dengan transportasi, hanya berkisar US$ 2 miliar pada 2020 menjadi US$ 2,7 miliar pada 2025.
Menurut PWC (2017), kebutuhan infrastruktur yang terus meningkat ini disebabkan oleh perubahan jumlah penduduk, faktor geopolitik dan lingkungan, serta era disrupsi. Biaya belanja infrastruktur tidaklah sedikit. Jadi, identifikasi infrastruktur yang urgen sangat diperlukan untuk menentukan proyek infrastruktur yang efektif. Selain itu, proyek infrastruktur seharusnya menggunakan dana jangka panjang, seperti obligasi, mengingat payback period dari pembangunan infrastruktur bersifat jangka panjang. Pembangunan infrastruktur juga sebaiknya mempertimbangkan recycling capital, sehingga modal yang digunakan dapat diinvestasikan kembali untuk proyek infrastruktur yang baru.
Ketiga, menyederhanakan dan merevisi regulasi yang menghambat penciptaan lapangan kerja serta pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Langkah positif ini patut didukung, tapi sebaiknya pemerintah juga mengurangi kompleksitas regulasi secara keseluruhan, baik di pusat maupun daerah. Menurut Bank Dunia (2019), data ease of doing business Indonesia secara umum berada di peringkat ke-73, tapi dalam hal starting business masih berada di peringkat ke-134 dan dealing with construction permit di peringkat ke-112. Artinya, regulasi di Indonesia dinilai rumit dan lama, sehingga menciptakan regulasi yang ramah terhadap investasi, simplifikasi, dan sinkronisasi regulasi, baik di pemerintah pusat maupun daerah, juga harus dilakukan.
Keempat, penyederhanaan birokrasi secara besar-besaran agar tercipta birokrasi yang ramping, sehat, dan efisien. Langkah ini akan lebih optimal jika pemerintah juga menelaah kembali berapa jumlah kementerian dan lembaga negara yang ideal agar anggaran belanja negara efisien. Di Indonesia, belanja pemerintah pusat dibagi menjadi 87 pos, terdiri atas 34 kementerian dan 53 lembaga. Negara lain, seperti Malaysia, hanya memiliki 26 kementerian, Thailand (19), Singapura (16), dan Vietnam (16). Gemuknya kabinet Indonesia tentu berimplikasi pada inefisiensi anggaran belanja negara. Akibatnya, pemerintah terjebak menggunakan belanja negara lebih banyak untuk belanja rutin daripada belanja pembangunan. Pembagian tugas pokok dan fungsi yang jelas antar-kementerian dan lembaga negara sangat diperlukan agar peran dan fungsinya tidak tumpang-tindih.
Kelima, transformasi ekonomi akan dilakukan agar mengurangi ketergantungan sumber daya alam serta meningkatkan daya saing manufaktur dan jasa modern yang memiliki nilai tambah tinggi. Tentunya kebijakan ini patut didukung, mengingat selama ini ekspor Indonesia berupa komoditas mentah. Pemerintah sebaiknya mendorong para eksportir mengolah komoditasnya agar nilai ekspornya lebih tinggi dengan memberikan insentif fiskal dan non-fiskal.
Kesimpulannya, jalan panjang menuju gerbang kesejahteraan masih terbentang. Selain itu, diperlukan kemauan kuat, strategi jitu, dan langkah nyata untuk menciptakan kebijakan yang berpihak kepada rakyat guna merealisasi mimpi bangsa Indonesia menjadi salah satu negara adidaya di dunia.