Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
Pada 21 September lalu, sekonyong-konyong rakyat Mesir di berbagai kota turun ke jalan menuntut Presiden Abdel Fattah el-Sisi turun untuk digantikan oleh pemerintahan demokratis. Sisi menjadi presiden setelah pada 2013 mengkudeta Presiden Mohammad Mursi, satu-satunya presiden yang terpilih secara demokratis sepanjang sejarah Mesir.
Demonstrasi anti-Sisi dipicu seruan Mohammad Ali, kontraktor yang telah bekerja sama dengan militer Mesir selama 15 tahun, termasuk membangun istana untuk Sisi. Ali mengatakan rezim Sisi menghamburkan-hamburkan uang dari hasil pajak untuk proyek-proyek yang sia-sia.
Seruan Ali melalui akun Facebooknya disambut gegap gempita karena kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya Mesir buruk. Di bidang ekonomi, Mesir menghadapi kemerosotan investasi asing dan pendapatan dari pariwisata akibat instabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Cadangan devisa anjlok 60 persen dan pertumbuhan ekonomi turun. Kebijakan penghematan ketat sebagai syarat bagi pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) telah membuat kemiskinan melejit. Sekitar sepertiga dari 100 juta rakyat hidup kurang dari US$ 1,5 per hari, sementara korupsi merajalela dan standar hidup stagnan. Indeks persepsi korupsi Mesir berada pada tingkat ke-144 dari 177 negara.
Di bidang kebudayaan, The Pew Forum on Religion and Public Life menempatkan Mesir di peringkat kelima terburuk di dunia dalam hal kebebasan beragama. Menurut survei Pew Global Attitude, 84 orang Mesir mendukung hukuman mati bagi mereka yang murtad, 77 persen mendukung hukuman cambuk dan potong tangan karena mencuri, serta 82 persen mendukung hukum rajam bagi pezina.
Sementara itu, Undang-Undang Anti-terorisme mengancam awak media dengan denda mulai dari US$ 25 ribu sampai US$ 60 ribu bagi yang menyebarkan informasi "keliru" tentang tindakan teror di dalam negeri yang berbeda dengan pengumuman resmi Kementerian Pertahanan. Aktivis dan wartawan dipenjara atau dilarang bepergian. Tak mengherankan, Wartawan Lintas Batas menempatkan Mesir dalam hal kebebasan pers pada peringkat ke-158 dari 180 negara.
Mungkin situasi yang rawan secara politik inilah yang mendorong Sisi menggunakan polisi, tentara, dan pengadilan untuk konsolidasi kekuatan politik, menghilangkan semua kompetisi politik yang serius, dan memastikan narasi tunggal media. Rezim menyensor situs berita hak asasi manusia, memberlakukan undang-undang untuk menggilas masyarakat sipil, menyensor dan memata-matai media sosial, menangkap buruh yang akan mogok, serta menggelar kampanye penghilangan paksa dan penyiksaan. Dengan semua intimidasi politik publik ini, pemerintah berhasil menggilas seluruh perbedaan pendapat domestik.
Dalam rangka memastikan kemenangan Sisi dalam pemilihan presiden tahun lalu, pemerintah menggusur kompetitor paling lemah sekalipun. Dalam upaya membungkam demonstrasi saat ini, pemerintah mengambil langkah brutal dan menangkap hampir seratus orang. Ketika Mursi dulu dimakzulkan, rezim menangkap sekitar 60 ribu orang.
Semua ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perasaan tidak aman yang dirasakan Sisi terhadap kekuatan cengkeramannya atas Mesir. Mungkin ia khawatir ada kelompok perantara kekuasaan Mesir, termasuk perwira tinggi militer yang menginginkan munculnya orang kuat baru, sehingga ia mengintimidasi calon-calon presiden dari militer dalam pemilihan tahun lalu.
Cukup jelas, bahkan bagi Sisi sekalipun, bahwa kondisi ekonomi dan keamanan saat ini lebih buruk ketimbang saat ia mengambil alih kekuasaan. Mata uang Mesir mengalami depresiasi signifikan dan pengangguran di kalangan muda berada di level tertinggi. Dalam hal keamanan, Mesir berada pada tingkat sangat buruk sepanjang sejarah modernnya. Mesir lebih banyak mengalami serangan teroris dalam lima tahun pemerintahan Sisi ketimbang 30 tahun rezim diktator Husni Mubarak. Selama bertahun-tahun Mesir bertempur dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Semenanjung Sinai, yang kemudian berkembang intens setelah Mursi dijatuhkan.
Kedua, rezim Sisi mendapat dukungan politik dan ekonomi dari Arab Saudi serta Uni Emirat Arab yang khawatir pada pemerintahan Ikhwanul Muslimin di bawah Mursi. Sejak kudeta Sisi, Riyadh dan Abu Dhabi menggelontorkan puluhan miliar dolar Amerika kepada rezim Sisi.
Ketiga, Sisi terdorong oleh sikap Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Segera setelah memenangi pemilihan presiden 2016, Trump mengindikasikan bahwa promosi hak asasi dan demokrasi di luar negeri tidak termasuk prioritas kebijakan luar negerinya. Ini ditafsirkan sebagai sinyal positif oleh para diktator yang bersekutu dengan Amerika bahwa Amerika tidak akan mengaitkan pembatasan-pembatasan demokrasi dan hak asasi dengan bantuan serta bentuk dukungan lain. Dalam kasus Sisi, Trump membanjirinya dengan pujian, menyebutnya sebagai "fantastic guy".
Dengan pembungkaman demokrasi, dukungan regional dan internasional, Sisi dapat mempertahankan kekuasaan, tapi dia tidak akan berhasil membawa kemajuan bagi Mesir. Demokrasi terbukti berhasil menciptakan kesejahteraan dan keadaban suatu bangsa.
Catatan:
Ini merupakan artikel Koran Tempo edisi 18 Oktober 2019