Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Rambo dan Politik Amerika

Oleh

image-gnews
Iklan

Seno Gumira Ajidarma
PanaJournal.com

 “Satu hal yang menyenangkan dari menonton adalah karena filmnya sampah, dan kita tak boleh kecolongan untuk tidak menontonnya,” kata Oliver Stone, sutradara film seperti JFK (1991), Nixon (1995), dan Snowden (2016), dalam buku The Wit & Wisdom of the Movies (2011: 15). Terdengar kontradiktif, tapi sering terjadi ketika menghadapi film Hollywood, yang segala kibulnya telah menjadi bagian dari konstruksi kebudayaan dunia.

Film wajib bagi penonton di seluruh dunia bukanlah film-film pemenang festival alternatif, melainkan film-film bernaratif mapan tanpa tujuan untuk berbahasa baru. Justru dalam film seperti inilah ideologi beroperasi sebagai konotasi yang telanjur diak rabi sehingga diterima seolaholah sebagai denotasi itu sendiri.

Film-film seri Rambo yang dibintangi Sylvester Stallone maupun filmfilm jagoan Amerika Serikat yang lain, seperti John McClane (Bruce Willis, seri Die Hard), Ethan Hunt (Tom Cruise, seri Mission Impossible), Jason Bourne (Matt Damon, seri Bourne), dan John Wick (Keanu Reeves, seri John Wick) misalnya, jika diperiksa dalam konteks politik Amerika, menunjukkan penandapenanda yang jelas belaka perihal wacana politik dalam berbagai topik.

Bagaimana dengan Rambo: Last Blood (Adrian Grundberg, 2019) yang baru saja beredar dengan bintangnya yang sudah sangat menua? Sylvester Stallone terkenal dengan identifikasinya kepada dua karakter: selain John Rambo, juga Rocky Balboa. Keduanya underdog, orang-orang kalah, sampai alur cerita menentukan lain.

Konteks politiknya, jika Rocky adalah  representasi impian Amerika (kejujuran dan kerja keras adalah kunci sukses), Rambo adalah representasi mimpi buruk (veteran Perang Vietnam yang tidak dihargai di negeri sendiri). Seri ini dimulai dengan First Blood (Ted Kotcheff, 1982). Meski tampak jagoan, veteran Rambo yang bergelandangan tersingkir dan terluka di dalam hutan tanah airnya sendiri, menghadapi aparat yang menyiksanya tanpa alasan jelas selain kebencian.

Film ini menandai kekecewaan, bahkan trauma Amerika terhadap Perang Vietnam. Adapun sekuelnya, Rambo: First Blood Part II (George P. Cosmatos, 1985), adalah terapinya. Sebagai petarung tunggal, dengan bantuan lokal ala kadarnya, selain satu kompi pasukan Vietnam, satu regu komando Uni Soviet pun dikalahkannya. Jalur narsisisme ini adalah terapi bagi luka politik internasional Amerika Serikat, yang dapat diandaikan melukai pula kebanggaan nasionalnya.

Tak kurang dari Presiden Amerika Ronald Reagan, seperti dimuat Los Angeles Times (1 Juli 1985), berujar seusai krisis penyanderaan para penumpang kapal Achille Lauro oleh Front Pembebasan Palestina (PLF): “Setelah menonton Rambo semalam, saya tahu mesti berbuat apa jika terjadi lagi.” Ucapan di Ruangan Oval itu tidak disiarkan secara langsung, tapi tetap terdengar melalui mikrofon untuk televisi dan radio di ruangan itu, serta menjadi “berita sampingan” yang lebih dikenang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Film yang dimaksud Reagan adalah Rambo: First Blood Part II, yang skenarionya dirombak 17 kali agar mencapai “efek mitos” sampai hari ini. Fungsi Rambo terhubungkan dengan situasi politik internasional, selain membuat penonton di negerinya sendiri tidur tenang karena superioritas ke-Amerika-an yang terserap dari film itu. Tidak berarti Rambo menjadi corong pemerintah karena pada akhir film diberondongnya peralatan teknologi intelijen canggih sebagai representasi kebijakan Amerika yang serba salah.

Dalam Rambo III (Peter MacDonald, 1988), agenda politiknya hanya menyodok angin, saat mengisahkan Rambo membantai pasukan Uni Soviet di Afganistan, tapi ketika film beredar pasukannya sudah ditarik mundur. Adapun dalam Rambo (Sylvester Stallone, 2008), sang jagoan mengasingkan diri di Thailand dan membebaskan para misionaris yang ditawan militer Burma, yang dapat dibaca sebagai oposisi bagi junta militer yang tidak demokratis.

Rambo: Last Blood adalah seri kelima dan menggarisbawahi situasi konflik pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang membangun pagar konkret sepanjang perbatasan dengan Meksiko. Di samping merupakan kebutuhan nyata untuk mengatasi penyelundupan manusia, ia sekaligus menegaskan stigma lama: dari Meksiko hanya ada kartel narkoba dan prostitusi.

Bukan hanya tak bersikap diplomatis, Trump memperkuat stereotipe “orang Meksiko”, yang dalam film Western sejak zaman Fernando Sancho hanya hadir sebagai penjahat. Dengan segenap “pemurnian ideologis”nya (Rambo tua menjauhi khalayak ramai), stigma terhadap Meksiko mendapat konfirmasi dan membutuhkan seorang “jagoan tua” (seperti Trump?) untuk membersihkannya lagilagi seorang diri: mesin perang Kulit Putih Anglo- Saxon, meski ciri khas senjatanya, panah, memberi identifikasi lokal Kulit Merah, yang sederhana, alamiah, dan membumi. Ideologinya bernegosiasi demi suatu hegemoni. 

Catatan:

Ini merupakan artikel Koran Tempo edisi 18 Oktober 2019

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

35 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

35 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

41 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

43 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

56 hari lalu

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.


Dukung Kesejahteraan PPPK, Kabupaten Banyuasin Raih Penghargaan dari PT Taspen

10 Januari 2024

Pemkab Banyuasin menerima penghargaan atas implementasi dalam kesejahteraan ASN melalui Taspen group terbanyak di wilayah kerja PT. Taspen (Persero) kantor cabang Palembang 2023.
Dukung Kesejahteraan PPPK, Kabupaten Banyuasin Raih Penghargaan dari PT Taspen

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Banyuasin mendapat jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.


Debat Capres yang Tak Harus Dikompromikan

9 Januari 2024

Capres nomor urut 1 Anies Baswedan, Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto saat mengikuti debat ketiga Calon Presiden 2024 di Istora Senayan, Jakarta, Minggu, 7 January 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Debat Capres yang Tak Harus Dikompromikan

Debat calon presiden yang berlangsung Minggu malam diwarnai kejutan dan peristiwa tidak terduga.