Pemberlakuan sertifikasi halal secara resmi kemarin adalah contoh buruknya manajemen pemerintah. Meski sudah diberi waktu lima tahun untuk mempersiapkan implementasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, pemerintah terkesan tergopoh-gopoh membuat aturan dan infrastruktur pelaksanaan yang lengkap. Peraturan pemerintah yang mengatur tata laksana pemberlakuan sertifikat halal, misalnya, baru terbit lima bulan lalu. Sedangkan peraturan Menteri Agama sebagai turunan aturan teknisnya sampai kini belum kunjung rampung. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal sendiri baru terbentuk tahun lalu. Itu pun baru ada di Jakarta. Padahal, sesuai dengan undang-undang, badan itu juga diperlukan di daerah lain. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal merupakan instrumen sentral dalam pelaksanaan aturan baru ini. Merekalah yang akan menerbitkan sertifikasi dan label halal, berdasarkan sidang fatwa Majelis Ulama Indonesia. Akibatnya, pemberlakuan sertifikasi halal kemarin diwarnai banyak kebingungan dan ketidakpastian. Dunia usaha, yang bakal mendapat beban baru akibat pembayaran tarif sertifikasi, mengalami kesulitan mendapatkan informasi yang valid. Padahal mereka sudah lama mengeluhkan dampak buruk pungutan baru ini terhadap daya saing di kompetisi bisnis global. Tambahan pungutan ini jelas membuat industri kian tidak kompetitif. Berbagai persoalan di atas tampaknya lambat diantisipasi. Lima tahun masa transisi menuju implementasi aturan baru ini tak digunakan secara optimal. Walhasil, dikhawatirkan implementasi sertifikasi halal hanya akan membawa kekacauan. Lihat saja soal minimnya pasokan tenaga auditor halal di Indonesia. Pemerintah belum pernah menghitung berapa sebenarnya total kebutuhan auditor halal di Indonesia. Sampai kini, satu-satunya lembaga auditor yang siap adalah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini sungguh mencemaskan. Ada 1,6 juta pengusaha makanan dan minuman yang bakal antre untuk memperoleh sertifikat halal di negeri ini. Sebagai perbandingan, sepanjang tahun lalu MUI hanya bisa mensertifikasi sekitar 17 ribu produk. Persiapan yang grasa-grusu seperti itu membuat dunia usaha kalang-kabut. Banyak pengusaha kecil dan menengah belum pernah mendapat sosialisasi yang memadai. Pelaku industri juga deg-degan soal tarif. Saat masih dipegang MUI, banderol sertifikasi termahal sekitar Rp 5 juta per produk dan harus diperiksa ulang setiap dua tahun. Kini tarif ala pemerintah belum diumumkan. Belum terlambat untuk memperbaiki keadaan. Toh, pemerintah berjanji akan bersikap fleksibel soal penerapan sertifikasi halal. Implementasi juga bakal dilakukan bertahap dalam lima tahun ke depan. Sembari menata hal itu, tak ada salahnya menguji kembali logika penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Ketimbang menstempel semua produk halal, pemerintah lebih baik menandai mana yang tidak halal. Selain jumlahnya lebih sedikit, beban tarifnya tak akan membebani semua pelaku usaha.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 18 Oktober 2019