Yonvitner
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Benarkah perikanan sudah sukses menyejahterakan nelayan, meningkatkan pendapatan nasional, menciptakan lapangan kerja masa depan, menumbuhkan minat anak muda untuk menggeluti perikanan, dan yang utama menjadi penggerak utama ekonomi nasional?
Ini pertanyaan panjang yang tidak bisa dijawab dalam satu periode pembangunan. Namun itu bukan juga pertanyaan yang sulit karena saat ini Kementerian Perikanan dan Kelautan sudah memasuki usia dua dasawarsa. Pada usia yang ke-20 tahun ini tampaknya persoalan perikanan tidak beranjak dari persoalan mendasar. Salah satu persoalan tata kelola perikanan saat ini adalah data perikanan.
Persoalan data perikanan dikatakan sebagai persoalan mendasar karena persoalan ini bersifat fundamental serta menentukan arah dan tujuan pembangunan perikanan selanjutnya. Era 2014-2019 boleh disebut sebagai era dengan tingkat ketidakpastian data yang tinggi. Paling tidak, ada tiga persoalan utama yang menyebabkan hal ini terjadi.
Pertama, perubahan tata kelola perikanan karena perubahan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Lautan, dan Pulau-pulau Kecil ke Undang-Undang Otonomi Daerah. Perubahan tata kelola data di pelabuhan perikanan banyak mengalami distorsi. Perubahan kewenangan tata kelola pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dari kabupaten dan provinsi turut mempengaruhi perubahan tata kelola aset.
Salah satu aset yang berubah tersebut adalah tempat pelelangan ikan (TPI). Sebanyak 538 pelabuhan perikanan yang dulu dikelola kabupaten/kota kini dikelola provinsi, yang menyebabkan terhentinya mekanisme tata kelola data, lelang, dan aset TPI.
Kabupaten, yang merasa kewenangannya tercerabut dengan pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah, menghentikan pengelolaan TPI, termasuk dalam pencatatan lelang dan rekapitulasi data. Berdasarkan pengamatan saya di beberapa lokasi TPI di Jawa dan Sumatera, kegiatan di TPI hanya berupa pendaratan ikan tanpa ada pencatatan. Akibatnya, terjadi distorsi atau loss record data yang panjang. Kabupaten/kota yang merasa sudah tidak memiliki kewenangan juga tidak mengalokasikan pembiayaan untuk tata kelola TPI, termasuk untuk mencatat data dari proses pendaratan dan lelang.
Kedua, proses adaptasi dan transformasi mekanisme sistem satu data yang tidak terencana dengan baik dan proses adaptasi yang panjang. Proses adaptasi sistem Aplikasi Satu Data, sebagai substitusi tata kelola data perikanan sebelumnya, ternyata tidak berjalan mulus. Dalam mekanisme pengumpulan data, sumber daya manusia yang bertanggung jawab tidak dirancang dengan baik. Ketika terjadi disrupsi karena perubahan tata kelola aset perikanan, sistem pengumpulan data tidak bisa langsung bekerja.
Seharusnya, ketika akan menggunakan sistem data yang baru, mekanisme pendataan yang lama tidak serta-merta dihentikan. Ada dua kemungkinan yang terjadi: kebijakan Satu Data tidak menyertakan evaluasi terhadap mekanisme yang lama atau ketidakpahaman akan pentingnya data dalam sistem manajemen yang efektif dan efisien.
Ketiga, sistem manajemen kendali dan tata kelola data yang kurang inklusif serta tidak mampu menerapkan perkembangan teknologi 4.0 yang sudah sangat masif berkembang saat ini. Perubahan format yang diikuti dengan perubahan sistem semestinya dilakukan secara adaptif dan inklusif. Inklusivitas ini diperlukan untuk memastikan kelemahan-kelemahan yang berpotensi menyebabkan kegagalan dapat diminimalkan. Hal itu dapat juga dijadikan sebagai ruang untuk menemukan opsi-opsi terbaik guna mendapatkan data yang lebih valid, dapat diandalkan, serta bermanfaat bagi penyusunan program dan rencana pembangunan perikanan selanjutnya.
Pembangunan perikanan dan kelautan yang presisi (Yonvitner, 2019) harus diawali dengan data presisi, daya dukung dan spasial yang presisi, juga program yang presisi. Tapi data yang bersifat sangat sementara masih banyak muncul dalam laporan belakangan ini. Maka, ada baiknya dilakukan revisi, penataan ulang, atau amnesti data perikanan.
Amnesti data perikanan diperlukan sebagai upaya untuk kembali mendefinisikan struktur data, mekanisme pengumpulan, tata kelola, sumber daya manusia pengelola data, adopsi teknologi pendataan, dan mekanisme pengawasan serta analisis data. Amnesti data diperlukan karena beberapa hal.
Pertama, banyak daerah yang lambat beradaptasi dan belum melakukan sinkronisasi organisasi tata kelola kawasan pesisir. Untuk memastikan tata kelola data dan aset berjalan dengan baik, intervensi Kementerian Kelautan mutlak diperlukan sehingga dapat dijadikan sebagai petunjuk dan koordinasi lintas unit di kabupaten/kota dengan provinsi.
Kedua, perlu menyiapkan sumber daya manusia yang adaptif terhadap teknologi informasi 4.0. Sistem tata kelola data yang saat ini diperlukan adalah yang bersifat real time, cepat update, dan presisi. Ketiga, perlu menyiapkan sebuah sistem big data terpadu dari semua sektor perikanan, dari data mengenai tangkapan, budi daya, alokasi ruang, sumber daya manusia, daya dukung, lingkungan, hingga data lain yang berkaitan, seperti perubahan iklim. Sistem big data perikanan merupakan jawaban akhir untuk memastikan tata kelola perikanan presisi.