M. Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
Dalam The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty, Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2019) mengilustrasikan perang Suriah yang telah memicu tragisnya bencana kemanusiaan. Ratusan ribu orang kehilangan nyawa. Puluhan juta orang mengungsi. Warga Suriah bergulat dengan masalah yang begitu mewabah dalam masyarakat, yang telah menjadi tema karya tulis tertua berusia 4.200 tahun, tablet Sumeria, yang merekam epos Gilgames.
Gilgames ialah raja di Uruk, barangkali kota pertama di dunia, yang letaknya di cabang Sungai Eufrat. Dia membangun kotanya secara luar biasa. Perdagangan berkembang. Istana dan kuil berdiri megah. Tapi Gilgames "menginjak-injak warganya seperti banteng liar". Sebagai raja, dia lalim. Tak ada yang berani menentangnya.
Dalam keputusasaan, rakyat mengadu ke Anu, dewa langit. Anu memerintahkan Aruru, ibu kreasi, untuk membuat kembaran Gilgames. Gilgames dan kembarannya pun berduel. Meskipun kembaran Gilgames kalah, kekuatan despotik Gilgames setidaknya tertandingi.
Apakah lantas benih-benih kebebasan timbul di Uruk? Sayangnya tidak. Keduanya malah bersatu. Prospek kebebasan pun lenyap seiring dengan hilangnya checks and balances.
Pesan penting cerita ini jelas. Banyak yang berharap elite kekuasaan segera tertandingi kembarannya, elite oposisi. Namun para dewa pun gagal menghadirkannya. Kedua penulis lebih menyarankan agar masyarakat menjadi kekuatan dan harus waspada setiap saat untuk tampil sebagai penyeimbang.
Hal ini relevan dengan situasi politik Indonesia. Belakangan ini, partai-partai politik di luar koalisi partai pengusung Jokowi bertindak proaktif agar dapat diakomodasi dalam kekuasaan. Dalam politik, itu sah-sah saja. Namun, dalam konteks Acemoglu dan Robinson, hal ini mencerminkan krisis checks and balances. Tapi para politikus masih bisa membantah dengan memperluas konteks checks and balances sebagai hal yang tak berhubungan dengan penyusunan kabinet.
Dari mana datangnya kebebasan? Dalam kasus Suriah, menurut Acemoglu dan Robinson, jelas bukan dari anarki. Kebebasan membutuhkan negara dan hukum. Tapi itu tak diberikan oleh negara ataupun elite penguasa. Masyarakat perlu mengontrol, sehingga negara melindungi dan mempromosikan kebebasan, bukan justru merobohkannya. Kebebasan membutuhkan masyarakat yang berpartisipasi dalam politik.
Kedua penulis berdalih, agar kebebasan terjaga, negara dan masyarakat harus kuat. Dibutuhkan negara yang kuat untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik. Masyarakat yang kuat diperlukan untuk mengendalikan dan membatasi potensi negara kuat menindas. Solusi checks and balances dengan membikin kembaran, berharap sepenuhnya pada kekuatan penanding atau oposisi, tak menyelesaikan "masalah Gilgames".
Kebebasan kini berada di koridor sempit. Di koridor inilah negara dan masyarakat saling menyeimbangkan. Keseimbangan ini bukan tentang momen revolusioner, melainkan sekadar perjuangan yang konstan, sehari-hari, di antara keduanya. Koridor negara dan masyarakat tak hanya bersaing, mereka juga bekerja sama menghasilkan kapasitas yang lebih besar bagi negara untuk menyampaikan hal-hal yang diinginkan masyarakat dan mendorong masyarakat memantaunya.
Koridor, bukan pintu, merupakan kiasan bagi proses pencapaian kebebasan. Diperlukan perjalanan panjang di suatu koridor, sebelum "kekerasan dikendalikan, undang-undang ditulis, hukum ditegakkan, dan negara mulai melayani warganya". Dalam proses itu, negara dan para elitenya harus belajar hidup dengan pembatasan yang ditetapkan masyarakat. Namun berbagai segmen masyarakat juga harus belajar bekerja sama, baik antar-mereka maupun dengan negara, meskipun ada perbedaan.
Acemoglu dan Robinson tampaknya menyuntikkan pesan penting dan lugas di dalam bukunya. Pesannya adalah masyarakat tak boleh lemah, juga harus kuat dan proaktif. Pesan ini penting dalam demokrasi, kendati kedua penulis bisa terjebak masalah klasik, yakni problem diametral negara dan masyarakat. Kendati demikian, pembaca tetap harus sabar membaca khazanah luas yang mereka narasikan, sehingga tidak timbul kesan bahwa masalahnya sekadar dialektika negara dan masyarakat. Bagaimana dengan pasar, misalnya?
Masalah kebebasan, konteksnya masih berkaitan erat dengan paradigma kebijakan kelembagaan yang inklusif, bukan ekstraktif, sebagaimana direkomendasikan kedua penulis dalam bukunya terdahulu, Why Nation Fail (2012). Kebebasan cenderung langka dalam sejarah, bahkan hingga kini.
Para filsuf telah mengajukan banyak definisi kebebasan. Pada tingkat mendasar, seperti ditegaskan John Locke, kebebasan dimulai ketika khalayak bebas dari kekerasan, intimidasi, dan tindakan merendahkan lainnya. Khalayak dapat membuat pilihan bebas atas kehidupan mereka dan memiliki sarana pelaksanaannya tanpa ancaman hukuman yang tak masuk akal atau sanksi sosial yang kejam. Acemoglu dan Robinson tak punya rumus baru, kecuali mengingatkan kembali rumus para filsuf dan ilmuwan sosial, yakni dibutuhkannya negara untuk menyelesaikan konflik, menegakkan hukum, dan membatasi kekerasan. Seperti dikatakan Locke, "Di mana tak ada hukum, tak ada kebebasan. "