Petrus Richard Sianturi
Kandidat Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM
Lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat serangan. Yang terbaru adalah serangan berupa revisi Undang-Undang KPK, yang tanpa ragu harus diakui sangat berpotensi melemahkan institusi dan fungsi KPK.
Pada saat korupsi sudah merusak dan menghancurkan bangsa ini pelan-pelan dan setiap lini kehidupan bermasyarakat digerogoti oleh keserakahan, mengapa Undang-Undang KPK harus tergesa-gesa direvisi? Sudah pasti KPK tidak sedang dalam keadaan aman-aman saja sekarang.
Dewan Perwakilan Rakyat periode lalu telah salah kaprah dalam melihat fakta korupsi yang terjadi di negara ini. Mereka, misalnya, melihat korupsi yang banyak terjadi dan terlihat dari operasi tangkap tangan oleh KPK sebagai telah gagalnya KPK menjalankan fungsi pencegahan. Padahal, seharusnya, penindakan atas banyak kasus korupsi menunjukkan peningkatan efektivitas kinerja KPK dan bukan justru sebaliknya. Pengungkapan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat kelas teri sampai kelas kakap menunjukkan bahwa saat ini Indonesia masih berjuang untuk menyembuhkan borok akibat korupsi yang telah akut.
DPR periode lalu menutup mata mereka terhadap data kepercayaan publik kepada KPK. Survei Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Polling Center tahun 2017 menyatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK berada di urutan paling atas di antara 13 lembaga negara lainnya. Dari 1.819 responden, sebanyak 86 persen menyatakan percaya kepada lembaga KPK, pada saat kepercayaan terhadap DPR hanya 51 persen. Data ini menempatkan DPR hanya berada di posisi ke-12, peringkat ketiga dari bawah.
Adapun hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun yang sama menunjukkan 64,4 persen responden lebih percaya kepada KPK, dan yang menyatakan lebih percaya kepada DPR hanya 6,1 persen. Ini ironis, karena DPR adalah lembaga perwakilan rakyat.
Terkait dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja KPK, dalam survei yang sama oleh ICW dan Polling Center, 12 persen responden menyatakan sangat puas dan 58 persen menyatakan puas terhadap kinerja KPK.
Maka, bisa dimengerti mengapa rakyat menjadi emosional ketika DPR dan pemerintah tiba-tiba merevisi Undang-Undang KPK. Apalagi materi revisi terlihat jelas akan memperlemah KPK. Masyarakat merasa dilangkahi oleh lembaga yang mewakili mereka sendiri. Mengapa DPR (dan pemerintah), lembaga yang menjadi representasi langsung keterwakilan masyarakat, kok seolah-olah mau membunuh KPK?
Pelemahan terhadap KPK harus dihentikan. Pertama, jika DPR periode baru ingin meningkatkan kepercayaan publik atas kinerja dan komitmen pemberantasan korupsi, hentikan semua usaha melemahkan KPK.
DPR kali ini jangan keras kepala, begitu juga pemerintah. Ribuan pengajar dan guru besar dari 27 perguruan tinggi dan ratusan ribu mahasiswa telah menyatakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang KPK. Belum lagi petisi online yang telah ditandatangani 20 ribu lebih warganet sehari setelah petisi dikeluarkan. Penolakan ini tidak boleh dianggap remeh. DPR harus sadar bahwa penolakan ini juga suara yang mutlak harus mereka pertimbangkan.
Kedua, Presiden Joko Widodo harus menunjukkan sikap yang tegas dalam mendukung kinerja KPK. Presiden harus menyatakan komitmen yang tinggi terhadap penguatan KPK. Salah satunya dengan segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan revisi Undang-Undang KPK.
Soal kegentingan memaksa, yang menjadi syarat utama dikeluarkannya perpu, sepenuhnya adalah hak subyektif presiden. Jika dilihat dari masifnya tuntutan agar revisi Undang-Undang KPK dicabut, sebenarnya presiden bisa menjadikannya sebagai dasar untuk menilai ada atau tidaknya kegentingan yang memaksa itu. Presiden Jokowi diharapkan tidak lupa akan janji kampanyenya untuk memihak dan selalu mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Ketiga, pernyataan-pernyataan provokatif yang menyerang KPK harus segera dihentikan. Pernyataan semacam itu, apalagi berasal dari anggota parlemen, adalah hal memalukan yang tidak pantas. Pernah adanya ancaman menahan anggaran untuk KPK terbukti menjadi blunder bagi DPR periode lalu. Karena itu, jangan lagi ada blunder-blunder dari Senayan, kecuali menginginkan hukuman dari rakyat terhadapnya dan partai politiknya pada pemilihan umum mendatang.
Keempat, meskipun rakyat meletakkan kepercayaan yang tinggi, KPK tetap harus berbenah diri agar celah untuk diganggu secara formal-prosedural dapat dihindari. KPK harus konsisten untuk membersihkan dirinya dari oknum-oknum yang tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang adil, transparan, dan bersih. Pimpinan KPK harus memiliki ketegasan dalam memastikan KPK berjalan sebagaimana telah diatur. Apakah ini bisa diharapkan dari pimpinan KPK yang baru?