Pemerintah semestinya segera berbenah menghadapi ancaman resesi ekonomi global. Masa suram yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi negatif selama dua triwulan berturut-turut tak bisa dianggap remeh. Dalam waktu mendesak, pemerintah harus sekaligus menjaga daya beli masyarakat, mengendalikan laju inflasi, meningkatkan ekspor, serta mendorong pertumbuhan investasi.
Pemerintah tidak boleh lamban bertindak lantaran tanda-tanda resesi sudah di depan mata. Institute for Supply Management Amerika Serikat mengumumkan bahwa Indeks Manajer Pembelian (PMI) yang menunjukkan kinerja industri manufaktur negara itu pada September lalu turun dari bulan sebelumnya 49,1 menjadi 47,8. Angka itu merupakan yang terendah sejak Juni 2009.
Begitu pula di Indonesia. IHS Markit merilis PMI Indonesia hanya sebesar 49,2 pada kuartal III 2019 atau terendah sejak 2016. PMI di bawah 50 menunjukkan kontraksi di sektor manufaktur. Di sektor finansial, peringatan dini datang dari Bursa Efek Indonesia. Indeks harga saham gabungan melemah 3,85 persen pada pekan lalu, diiringi dengan keluarnya dana asing sebesar Rp 840 miliar.
Perlambatan bisnis global ini merupakan imbas dari kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menaikkan tarif bea masuk barang-barang asal Cina. Dia lupa bahwa industri manufaktur Amerika sangat bergantung pada bahan baku dari Cina. Akibatnya, industri Amerika terganggu.
Pemerintah Jokowi memang menyadari bahwa cara tercepat untuk keluar dari jerat resesi adalah menarik sebanyak-banyak modal masuk dalam bentuk investasi langsung. Sejak awal menjabat, ia menjanjikan akan memangkas perizinan untuk memudahkan investasi. Namun hingga kini janji tersebut belum dipenuhi.
Lembaga riset asal Kanada, Fraser Institute, dalam laporan bertajuk “Global Petroleum Survey 2018” yang diumumkan pada Januari lalu menempatkan Indonesia dalam kelompok 10 negara dengan iklim investasi minyak dan gas bumi terburuk. Bank Dunia juga menurunkan peringkat kemudahan berusaha Indonesia 2019 sebanyak satu tingkat ke posisi ke-73 dari 190 negara yang disurvei.
Program penyederhanaan perizinan lewat Online Single Submission belum cukup meningkatkan kemudahan perizinan investasi. Ketidaksinkronan regulasi di antara sesama instansi pusat serta antara pusat dan daerah menjadi penyebabnya. Kepala daerah dikenal suka mempersulit perizinan dan menempatkan dirinya seperti raja kecil.
Kini, menjelang periode kedua jabatannya, Jokowi justru menambah rumit persoalan karena menuding upaya pemberantasan korupsi sebagai penghambat investasi. Kesalahan berpikir ini yang disebut-sebut menjadi dasar pemerintah mendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Langkah ini sungguh keliru dalam menghadapi resesi ekonomi yang menuntut perbaikan laju investasi. Sudah banyak bukti bahwa korupsi justru membawa dampak buruk pada ekonomi dan minat berinvestasi. Korupsi menciptakan ekonomi biaya tinggi lantaran kebutuhan investasi di setiap proyek akan menggelembung demi mengakomodasi korupsi.
Ketimbang kecewa dan kesal karena 33 perusahaan yang cabut dari Cina tidak mampir ke Indonesia melainkan ke Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Thailand, Jokowi lebih baik melakukan introspeksi mengenai cara pemerintah selama ini menarik investasi.