Tadzkia Nurshafira
Manajer Program Citizen Engagement and Natural Resource Governance Education, Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada
Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air menjadi undang-undang pada 17 September lalu sebagai pengganti Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) Nomor 7 Tahun 2004 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2015. Dengan semangat untuk tidak mereplikasi substansi undang-undang sebelumnya yang dibatalkan karena tidak mengatur dengan jelas batasan keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan air, UU SDA baru ini diharapkan dapat menciptakan tata kelola air yang bisa memaksimalkan hak rakyat atas air dan perlindungan negara terhadap hak tersebut. Seberapa signifikan UU SDA dalam mengeliminasi kemungkinan privatisasi air bersih?
Pokok persoalannya adalah apakah air harus diperlakukan sebagai barang publik, yang pemenuhannya wajib dilakukan oleh negara, atau barang ekonomi, di mana air dipahami sebagai komoditas yang pemenuhannya lebih baik dan efisien jika dilakukan oleh sektor swasta.
UU SDA baru menegaskan bahwa air bersih adalah barang publik dan mengajukan bentuk pengelolaan yang dianggap paling mungkin memenuhi hak rakyat atas air dengan kontrol dan penguasaan negara yang kuat. Terdapat setidaknya empat implikasi dari cara pandang ini.
Pertama, "hak atas air" dianggap sebagai narasi yang secara utuh melandasi tata kelola air dan dianggap dapat mengeliminasi peran sektor swasta di dalamnya. Dalam arti lain, keterlibatan sektor swasta dianggap tidak kompatibel dengan konsep hak atas air. Lantas, apakah penggunaan narasi "hak" dapat menjamin pemenuhan air bersih bagi masyarakat dan mengeliminasi privatisasi?
Pembicaraan mengenai hak berangkat dari asumsi individualistis yang eurosentris dan, karena itu, kompatibel dengan sistem ekonomi-politik kapitalistik yang menggaungkan konsepsi hak milik pribadi (Bakker, 2007). Keterlibatan sektor swasta pada dasarnya cocok dengan narasi hak asasi di berbagai negara karena tolok ukur keberhasilannya adalah pemenuhan air bagi tiap individu dan metode yang dapat mencakup keterlibatan sektor swasta sejauh mekanisme tersebut dapat memenuhi kebutuhan air masyarakat. Karena itu, penggunaan narasi hak memiliki konsekuensi keterlibatan sektor swasta di dalamnya. Narasi antroposentris ini juga bersifat kontradiktif dengan upaya menjaga kelestarian ekosistem lingkungan tempat air berada. Wajar bila sektor swasta juga berbicara dalam bahasa "hak atas air" dalam aktivitas industri mereka.
Kedua, UU SDA tersebut cenderung membekukan makna "privatisasi" yang dipahami berbasis aktor. Karena itu, aktor-aktor masuk ke perdebatan terbatas pada sektor industri pengelolaan air yang secara formal diberikan hak guna usaha air oleh pemerintah. Alih-alih menempatkannya berdasarkan aktor, privatisasi harus dipahami sebagai logika atau mekanisme pengelolaan air yang dapat dilakukan oleh berbagai aktor: pemerintah, sektor swasta, atau bahkan masyarakat sipil. Meski pemerintah berupaya membatasi keterlibatan sektor swasta, undang-undang tersebut gagal mengantisipasi bentuk-bentuk privatisasi informal di dalam masyarakat atau bahkan negara.
Ketiga, adanya penguasaan penuh dari negara dapat mengulang fenomena yang muncul pada 1970-an di negara-negara berkembang saat negara gagal mendistribusikan air bersih. Hal ini pun memberikan ruang bagi sektor swasta untuk mengambil alih peran tersebut dengan dalih "kegagalan negara". Jika hal ini terjadi, pola pengelolaan yang melibatkan sektor swasta sebagian, atau bahkan seluruhnya, dapat kembali terjadi sebagai solusi atas kegagalan tersebut. Membahas dan mengatur keterlibatan sektor swasta tanpa mengebirinya, karena itu, menjadi masuk akal untuk mencegah satu pandangan mutlak dalam pengelolaan air bersih yang dapat memunculkan respons ekstrem dari kubu sebaliknya pada masa mendatang.
Keempat, tidak adanya insentif bagi masyarakat untuk menciptakan pengelolaan air bersihnya sendiri. Upaya ini berangkat dari asumsi bahwa air dapat pula dipahami sebagai barang bersama yang dapat dikelola secara komunal oleh masyarakat. Posisi biner dalam memahami air sebagai barang publik atau swasta tidak sensitif terhadap narasi air sebagai barang bersama yang tumbuh subur di level lokal dan digunakan oleh masyarakat ketika negara atau sektor swasta tidak mampu menjangkau daerah-daerah terpencil. Akibatnya, berbagai inisiatif masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya akan air bersih dapat dengan mudah dikategorikan ilegal. Dalam kondisi ini, privatisasi yang dilakukan oleh sektor informal dapat dengan mudah dianggap sebagai mekanisme yang paling menguntungkan bagi masyarakat.
UU SDA adalah produk dari kontestasi dan perimbangan kekuatan yang terjadi antara tata kelola urusan publik berbasis negara, pasar, dan masyarakat. Upaya mengeliminasi privatisasi tidak dapat dilakukan dengan menghilangkannya, tapi dengan mengakui signifikansinya dan mengaturnya secara terbuka dan terlembaga.