Gita Putri Damayana
Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Proses untuk buru-buru mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan menunda-nunda Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menegaskan bahwa perempuan terus menjadi korban dalam berbagai aspek. Bahwa perempuan kerap diasosiasikan sebagai warga kelas dua Indonesia bukanlah hal baru. Hak-hak perempuan masih terbatas dan mereka rentan menjadi korban kekerasan seksual, apa pun afiliasi politiknya. Namun akan terjadi kemunduran gerakan perempuan yang signifikan jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk tetap mengesahkan RUU KUHP dan membatalkan pemberlakuan RUU PKS.
Awal pergerakan perempuan Indonesia adalah pada pergantian abad ke-20, sejak perempuan Indonesia mendapat kesempatan untuk bersekolah dari pemerintah kolonial Belanda. Pada masa Orde Lama, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) mencoba memberi warna pada kebijakan yang berdampak pada perempuan, seperti upah pekerja dan menolak poligami. Karena peristiwa 1965, transisi gerakan perempuan dari Orde Lama ke Orde Baru mengalami stagnasi, meski bukan berarti tanpa perlawanan dan baru menemukan arahnya lagi pada masa reformasi.
Pada era reformasi, kemajuan perlindungan terhadap perempuan kini dihalangi dengan penundaan RUU PKS dan proses RUU KUHP yang buru-buru. Partai-partai politik menolak untuk mengesahkan RUU PKS dengan mempermasalahkan materinya yang dianggap berbau Barat dan liberal. Padahal, pasal-pasal dalam RUU PKS berusaha melindungi korban, baik lelaki maupun perempuan, dari segala bentuk kekerasan seksual serta mencakup tindak pidana yang belum termuat dalam KUHP dan undang-undang lainnya.
Pasal 11 RUU PKS menyebutkan sembilan bentuk kekerasan seksual, termasuk pemaksaan perkawinan. Dalam KUHP sekarang, materi tersebut belum merupakan delik pidana. RUU KUHP, yang diniatkan untuk menggantikan KUHP lama peninggalan kolonial, justru memiliki pasal-pasal semakin mengkriminalisasi perempuan.
Pasal 417, misalnya, mendefinisikan persetubuhan di luar perkawinan sebagai tindak pidana. Meski merupakan delik aduan yang hanya bisa dilaporkan orang tua, suami, istri, atau anak, hal ini dikhawatirkan bisa menciptakan tindakan main hakim sendiri serta rentan menjadi kasus persekusi.
Pasal ini juga memperburuk peluang pernikahan anak karena orang tua, yang khawatir anaknya sudah melakukan persetubuhan, buru-buru menikahkan anaknya dengan paksa. Menurut data UNICEF, pemicu prevalensi pernikahan dini di Indonesia adalah ekonomi dan satu dari sembilan perempuan telah menikah sebelum usia 18 tahun.
Pernikahan usia dini memiliki konsekuensi signifikan pada kesehatan perempuan. Perempuan yang menikah dini berpeluang kecil melanjutkan pendidikan dan meninggikan angka kehamilan yang berisiko. Ditambah lagi, data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menunjukkan, dalam 80 persen kasus, pelaku utama kekerasan seksual adalah anggota keluarga dekat.
Contoh lain, Pasal 414 dan 416, yang sebetulnya bertujuan mencegah perilaku berisiko dan penularan HIV/AIDS, malah menjadikan bentuk-bentuk promosi alat kontrasepsi sebagai tindak pidana.
Persentase perempuan di bawah usia 18 tahun yang berprofesi sebagai pekerja seksual mencapai 30 persen. Kuatnya prasangka dan stigma masyarakat akan profesi pekerja seks dan minimnya akses untuk peningkatan kualitas hidup membuat para perempuan semakin rentan dieksploitasi.
Usaha perbaikan dalam peraturan bukannya tak ada sama sekali. Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Uncang-Undang Perlindungan Anak, Uncang-Undang Peradilan Pidana Anak, dan kebijakan yang memperhitungkan penyakit menular seksual dalam skema Badan Penyelenggara Jaminan Sosial merupakan inisiatif positif yang harus diapresiasi. Namun, semua ini belum cukup memberikan implikasi signifikan karena kompleksitas permasalahan dan terbatasnya kehendak politik, baik pemerintah pusat maupun daerah.
Di sisi lain, ketika perempuan berusaha memperjuangkan haknya dalam koridor hukum, mereka malah mendapat hukuman. Kasus Baiq Nuril dan Rizky Amelia adalah contohnya.
Sebuah survei online yang dilakukan pada 2016 menunjukkan bahwa 93 persen korban kekerasan seksual enggan melapor ke polisi. Diduga, budaya permisif atas kekerasan seksual yang masih melekat di publik membuat korban enggan melaporkan kejadian yang menimpa mereka.
Puluhan tahun setelah Indonesia merdeka, upaya perempuan untuk mengusahakan keadilan justru terpenjara oleh institusi formal hukum dan melemahkan nilai juang perempuan. Semangat pembuat undang-undang dan kecenderungan wacana yang berkembang di masyarakat cenderung mengungkung dan mendomestifikasi perempuan.
Meminjam tulisan Pramoedya Ananta Toer, mengesahkan RUU PKS dan menunda pengesahan RUU KUHP adalah cara kita untuk berusaha sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya demi masa depan perempuan Indonesia.
*) Artikel ini diterbitkan atas kerja sama Koran Tempo dan The Conversation