Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Dalam laporannya baru-baru ini, 2Q19 GDP Eased on Inventory Destocking, lembaga riset Morgan Stanley memperkirakan ekonomi Indonesia hanya mampu mencapai 5 persen pada tahun ini akibat semakin memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Angka tersebut menurun dari prediksi Morgan Stanley pada April lalu yang mencapai 5,3 persen, level yang sama dengan target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.
Meskipun demikian, dibandingkan dengan ekonomi negara-negara Asia selain Jepang (AxJ) lainnya, Indonesia-beserta India dan Filipina-merupakan negara-negara yang cenderung kurang terkena dampak ketegangan perdagangan. Ini karena basis permintaan domestik ketiga negara bersifat endogen. Sedangkan kelompok negara yang paling rentan terkena dampak, antara lain, adalah Cina, Hong Kong, Korea, Taiwan, dan Singapura. Adapun negara yang cukup rentan terkena dampak di antaranya Malaysia dan Thailand.
Hingga semester I 2019, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia memang hanya mampu menorehkan angka 5,06 persen, turun dibanding kuartal pertama yang sempat bertengger di angka 5,17 persen. Berdasarkan indikator pengeluaran yang berkontribusi pada produk domestik bruto (PDB) nasional, konsumsi lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) tumbuh paling tinggi, yakni 15,27 persen. Pertumbuhan tersebut disumbang oleh perhelatan pemilihan presiden dan pemilihan umum pada April lalu. Pertumbuhan tinggi juga disumbang oleh indikator konsumsi pemerintah sebesar 8,23 persen. Daya dorong APBN terlihat kian membesar berkat program bantuan sosial (bansos) dan kenaikan gaji serta tunjangan hari raya Lebaran.
Namun dua indikator utama yang biasanya memberi kontribusi signifikan justru tumbuh kurang dinamis, yakni konsumsi rumah tangga dan investasi. Keduanya hanya tumbuh masing-masing 5,17 persen dan 5,01 persen. Nahasnya lagi, ekspor tumbuh negatif 1,81 persen dan impor bergeliat minus 6,73 persen akibat tekanan perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian pertumbuhan ekonomi dunia.
Pada sisi transaksi berjalan pun terjadi hal yang sama. Kuartal II 2019, defisit transaksi berjalan (CAD) mencapai US$ 8,4 miliar atau 3 persen dari PDB. Angka defisit tersebut membengkak hingga 21 persen dari kuartal I 2019, yang hanya US$ 6,97 miliar. Jika diakumulasi, CAD periode April-Juni 2019 melebar 6,2 persen dari periode yang sama tahun lalu, yang masih sebesar US$ 7,95 miliar.
Sementara itu, secara kualitas, struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia pun kian mengkhawatirkan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan II 2019 turun sebesar 1,91 persen dibanding kuartal sebelumnya, meski terjadi kenaikan sebesar 3,62 persen jika dibandingkan dengan triwulan II 2018.
Melandainya angka-angka pertumbuhan sektoral tersebut sejalan dengan perlambatan pertumbuhan kredit perbankan, baik untuk konsumsi maupun modal usaha. Data Bank Indonesia menunjukkan, setelah sempat menanjak sejak 2018 hingga awal 2019, pertumbuhan kredit kepada pihak ketiga kembali mulai menunjukkan gejala melambat. Ini setidaknya terlihat dari pertumbuhan kredit year on year pada Maret 2019 yang turun menjadi 11,54 persen, lebih rendah dari bulan sebelumnya yang tumbuh 13,41 persen.
Adapun kredit konsumsi tumbuh menukik cukup signifikan menjadi single digit 8,35 persen, lebih rendah ketimbang akhir 2018 yang tumbuh 10,35 persen. Bahkan perlambatan kredit konsumsi sejatinya sudah dimulai sejak Oktober 2018, yang saat itu tumbuh 11,53 persen.
Melihat kondisi tersebut, memasuki periode kedua pemerintahannya, Presiden Joko Widodo harus memiliki tim ekonomi yang mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Tim yang sekarang sudah terbukti tak cukup memiliki kreativitas untuk menggerakkan ekonomi. Tim ekonomi Indonesia tentu tak bisa terus-menerus hanya mempersalahkan situasi ekonomi global karena ketidakpastian itu masih akan terus berlangsung dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kemungkinan besar akan kembali terpilih, yang berarti ketidakpastian global masih akan terus berlangsung hingga 2024.
Ke depan, otoritas fiskal harus lebih kreatif dan tim ekonomi harus solid alias lebih terkoordinasi. Selama ini terbukti sudah 16 paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan tim ekonomi Jokowi, tapi tak ada satu pun kebijakan yang cukup mumpuni untuk menggerakkan ekonomi. Investasi tidak meningkat signifikan. Ekspor tidak bertumbuh. Neraca perdagangan malah defisit. Pertumbuhan sektor manufaktur lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi, dan Indonesia secara perlahan terus digerogoti gejala deindustrialisasi. Tak bisa tidak, Indonesia membutuhkan tim fiskal dan moneter yang kreatif serta memiliki pemahaman komprehensif tentang sektor riil dan sektor korporasi di samping ekonomi makro.