TINGKAH buzzer pendukung Presiden Joko Widodo makin lama makin membahayakan demokrasi di negeri ini. Berbagai kabar bohong mereka sebarkan dan gaungkan di media sosial untuk mempengaruhi opini dan sikap publik. Para pendengung menjadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek: mengamankan kebijakan pemerintah.
Para pendengung itulah yang pertama kali menyebarkan kabar tentang ambulans berlogo pemerintah DKI Jakarta yang berisi batu saat unjuk rasa pelajar sekolah menengah atas pekan lalu. Terekam oleh Drone Emprit, aplikasi pemantau percakapan di dunia maya, cuitan mereka itu lebih cepat beberapa jam dibanding akun resmi TMC Polda Metro Jaya. Sebagian di antaranya mengolok-olok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang mereka perangi sejak pemilihan Gubernur DKI 2017. Belakangan, polisi menyatakan kabar itu tidak benar.
Dalam kasus seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi dan revisi Undang-Undang KPK, para pendengung menyebarkan agitasi bahwa lembaga itu dikuasai kelompok agama garis keras yang mereka sebut Taliban. Mereka menyebut Novel Baswedan, penyidik yang dikenal gigih mengusut pelbagai kasus korupsi jumbo, sebagai antek khilafah. Ketika timbul dukungan kepada KPK, mereka menyerang para pendukung itu dengan memberi mereka label pendukung khilafah.
Sesungguhnya, para buzzer ini adalah produk gagal dari era kebebasan berpendapat. Memanfaatkan kemampuan menulis-sebagian di antara buzzer Jokowi adalah bekas wartawan-dan fanatisme pembacanya, mereka mengemas kabar bohong sedemikian rupa sehingga terlihat benar. Kadang disertakan pula bumbu "berdasarkan sumber intelijen". Diterpa arus informasi yang masif dari para pendengung yang saling menggaungkan pesan, para pendukung Jokowi yang tidak melakukan verifikasi ikut-ikutan mendukung sikap tersebut dan menghujat mereka yang berbeda pandangan.
Para pendengung agaknya punya hubungan kuat dengan penguasa dan aparat negara. Mereka bisa dengan mudah mendapatkan profil pihak yang dianggap sebagai lawan, seperti kartu tanda penduduk, nomor telepon, bahkan jenis telepon seluler yang digunakan. Dukungan pemerintah kepada buzzer pun terlihat dengan pemberangusan akun-akun yang punya sikap berbeda, yang dituding menyebarkan kabar bohong. Kolaborasi para buzzer dengan aparat negara ini pada akhirnya memperkuat kartel kekuasaan yang memberangus kebebasan berpendapat dan berbicara.
Presiden Jokowi harus segera menertibkan para buzzer yang sulit dipercaya keberadaannya tidak Presiden ketahui jika bukan dia kendalikan. Tanpa mereka pun, Jokowi sebenarnya tak perlu khawatir terhadap berbagai serangan di media sosial. Meraih dukungan 55,5 persen suara pada pemilihan umum lalu, Jokowi punya pengikut setia yang sebenarnya siap membelanya di media sosial. Seandainya kinerja Jokowi dalam lima tahun ke depan meningkat, terutama di berbagai bidang yang selama ini masih berponten merah, para pemilih niscaya akan terus membela Presiden.
Pada era digital ini, tak salah jika seorang pejabat negara memiliki pasukan khusus di dunia maya untuk membantu pemenangan atau mempromosikan keberhasilan. Tapi, ketika pejabat negara membiarkan pendengungnya bertindak kelewat batas, sudah selayaknya kita mempertanyakan autentisitas kepemimpinannya.