PRESIDEN Joko Widodo dan jajarannya harus bergerak cepat memadamkan konflik yang terjadi di Papua, khususnya di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dan Waena, Kota Jayapura. Kelambanan dalam menyelesaikan konflik berpotensi membuat peristiwa serupa meluas ke berbagai penjuru Papua.
Kerusuhan terjadi di Wamena pada Senin pekan lalu, 23 September 2019. Massa diduga tersulut berita bohong soal ujaran rasial seorang guru kepada seorang pelajar SMP di sana. Mereka lalu membakar pertokoan dan kantor pemerintah. Hingga Jumat lalu, tercatat 33 orang tewas, 28 di antaranya adalah pendatang. Lebih dari 7.200 orang dievakuasi dan sekitar 7.500 pendatang masih mengungsi akibat konflik horizontal di Wamena.
Pada hari yang sama, bentrokan juga terjadi di Waena. Kericuhan bermula dari keputusan Universitas Cenderawasih menolak pendirian posko pengungsian bagi para mahasiswa dari luar Papua. Para mahasiswa yang ingin mendirikan posko lalu berkumpul di kawasan Expo Waena serta berhadapan dengan personel kepolisian dan TNI. Bentrokan pun tak terhindarkan. Tiga mahasiswa dan satu anggota TNI tewas.
Sejak Agustus lalu, Papua tak henti dilanda konflik berdarah. Setelah ujaran rasial dan persekusi terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya, Jawa Timur, menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia, kericuhan menyebar ke berbagai penjuru Papua. Awal September lalu, Presiden menugasi Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto berkantor di Papua untuk mengendalikan situasi. Tapi upaya itu tak membuahkan hasil.
Yang terjadi di Papua belakangan ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat, juga pemerintah daerah, tak punya kendali terhadap rakyat Papua. Pun sejak awal, pemerintah seperti tak tahu cara membawa perdamaian di bumi Cenderawasih. Pembangunan infrastruktur, meski bertujuan baik untuk meningkatkan perekonomian, terbukti tidak bisa menjadi solusi. Jalan dan jembatan tak mampu menghapus sejarah dan fakta: rakyat Papua sudah terlalu lama menderita dan menjadi masyarakat kelas dua di tanahnya sendiri.
Ditambah lagi, pemerintah justru berupaya mengisolasi Papua dari dunia luar. Bukannya menyelesaikan persoalan di Papua, pemerintah malah sibuk memadamkan tekanan dunia internasional. Padahal tindakan represif terus terjadi dan jumlah nyawa hilang kian bertambah, sehingga Papua tak henti menjadi sorotan dunia.
Presiden Jokowi harus segera memutus lingkaran setan konflik di Papua. Caranya adalah mencegah tindakan represif di Papua. Pemerintah juga harus segera menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah itu. Selama ini, pemerintah masih abai terhadap penyelesaian kasus HAM di sana. Dua kasus pelanggaran HAM berat di Papua, yaitu kasus Wasior yang terjadi pada 2011 dan kasus Wamena (2003), yang sudah diselesaikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tak kunjung diselesaikan Kejaksaan Agung.
Jokowi perlu segera memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Tanpa penuntasan pelanggaran HAM, Papua akan terus bergolak dan jumlah nyawa yang melayang niscaya terus bertambah. Jika itu yang terjadi, pemerintahan Jokowi akan dikenang sebagai pemerintahan yang paling banyak meminta korban di Papua.