Parlemen perlu segera membenahi mekanisme seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Marwah BPK, yang bertugas mengawasi keuangan negara, semakin rusak karena lembaga tinggi ini terkesan hanya menjadi tempat penampungan politikus Senayan. Anggota BPK selalu didominasi politikus Senayan.
Lihat saja lima anggota BPK periode 2019-2023 yang baru saja terpilih. Empat di antaranya berasal dari kalangan politikus. Mereka adalah politikus Partai Golkar, Harry Azhar Aziz; politikus Partai Demokrat, Achsanul Qosasi; politikus PDI Perjuangan, Daniel Lumban Tobing; dan politikus Partai Gerindra, Pius Lustrilanang. Hanya satu anggota yang bukan dari kalangan politikus, yakni Hendra Susanto, pejabat internal BPK.
Pius dan Daniel sebetulnya ikut berlaga dalam pemilu legislatif lalu, tapi keduanya gagal mendapatkan kursi. Adapun Harry Azhar dan Achsanul sudah menjadi anggota BPK sejak periode lalu. Keduanya sempat bertarung dalam Pemilu 2014 namun tidak berhasil memperoleh kursi Dewan Perwakilan Rakyat.
Hasil pemilihan anggota BPK yang dilakukan DPR itu menunjukkan kentalnya kepentingan politik untuk menguasai lembaga auditor negara. Muncul pula kesan adanya "bagi-bagi" jatah kursi anggota BPK di kalangan partai politik di parlemen. Hal ini akan membuat lembaga tersebut menjadi semakin tidak independen. Padahal konstitusi jelas menyatakan bahwa BPK merupakan institusi yang bebas dan mandiri.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan pun memuat amanat yang sama. Independensi itu diperlukan agar para auditor bisa bekerja memeriksa keuangan negara secara profesional dan menghasilkan audit yang kredibel. BPK semestinya diisi figur yang berintegritas sekaligus bebas dari kepentingan politik.
Dominasi para politikus di BPK selama ini cenderung menciptakan citra negatif, karena di antara mereka banyak yang bermasalah. Salah satunya adalah Harry Azhar, yang diduga melakukan pelanggaran etik dalam kasus Panama Paper. Wakil Ketua BPK, Bahrullah Akbar, pun terseret kasus pengaturan dana alokasi umum untuk daerah. Beberapa kali nama Bahrullah disebut dalam persidangan dengan terdakwa Yaya Purnomo, pegawai Kementerian Keuangan.
Kasus yang paling baru tentu saja adalah skandal suap anggota BPK, Rizal Djalil. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Politikus Partai Amanat Nasional ini diduga menerima sogokan dari pihak swasta dalam kaitan dengan proyek sistem pengadaan air minum di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Untuk memperbaiki citra BPK, parlemen seharusnya memilih anggota lembaga auditor negara ini secara transparan. Proses penjaringan awal sebaiknya pula dilakukan oleh panitia seleksi yang independen, untuk mencari calon anggota BPK yang benar-benar bersih dan berintegritas.
Sesuai dengan konstitusi, DPR memang berwenang penuh memilih anggota BPK. Hanya, wewenang ini seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab demi menjaga independensi BPK.