Pemerintah semestinya lebih komprehensif dalam menangani kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dalam tiga bulan terakhir ini. Memang penting berupaya memadamkan api sumber kebakaran. Tapi yang tak kalah penting adalah menangani para korban akibat kebakaran hutan dan lahan tersebut serta menyelamatkan penduduk dari kepungan asap.
Pemerintah terkesan lamban dalam menangani mereka yang terkena dampak asap, sehingga banyak jatuh korban. Akibat kebakaran yang menghanguskan sekitar 350 ribu hektare hutan dan lahan di Sumatera serta Kalimantan itu, lebih dari 100 ribu orang terkena infeksi saluran pernapasan akut. Mereka terpapar kabut asap pekat yang mencemari udara di atas level sangat berbahaya.
Karena itu, pemerintah tak cukup hanya memberikan masker kepada masyarakat yang terkena dampak asap. Pemerintah semestinya mengevakuasi warga ke lingkungan yang lebih sehat dan aman. Banyak warga kurang mampu yang tetap memilih bertahan dengan hanya memakai masker penutup hidung yang sebetulnya tidak memadai. Mereka juga tak mampu membeli tabung oksigen karena harganya mahal. Sedangkan tabung oksigen gratis yang disediakan pemerintah terbatas jumlahnya.
Dari segi kesehatan, kabut asap memicu berbagai penyakit. Selain infeksi saluran pernapasan, asap menyebabkan batuk, pneumonia, penurunan fungsi paru-paru, dan iritasi mata pada anak. Asap kebakaran hutan dan lahan juga ditengarai berdampak pada penurunan kecerdasan anak. Bisa dibayangkan jika anak yang sedang dalam masa pertumbuhan kesulitan menghirup oksigen selama tiga bulan. Dan dalam jangka panjang, menurut penelitian, paparan asap akibat kebakaran hutan juga memicu kematian. Pemerintah tak bisa tutup mata terhadap dampak buruk kebakaran hutan bagi kesehatan masyarakat sekitar.
Kepungan asap juga membuat sekolah-sekolah di sana meliburkan murid-muridnya. Di Jambi, misalnya, pemerintah kota memperpanjang libur sekolah karena asap masih pekat. Dampak lain dari kebakaran hutan ini adalah terhentinya mesin perekonomian. Setiap hari puluhan penerbangan di Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau, dibatalkan. Hal itu jelas sangat merugikan.
Kondisi darurat ini harus segera diakhiri. Jangan sampai kerugian yang ditimbulkan kian besar. Becermin pada bencana kebakaran hutan pada 2015, biaya pengobatan langsung bagi masyarakat yang terkena dampak mencapai Rp 1,9 triliun. Kerugian lainnya melingkupi kerusakan produksi, distribusi, perdagangan, serta penurunan nilai sumber daya. Jumlah kerugian negara saat itu sekitar Rp 221 triliun.
Kebakaran yang terus berulang saban tahun ini menunjukkan bahwa pemerintah belum serius dan komprehensif dalam menangani persoalan tersebut. Tindakan pemerintah menyegel perusahaan-perusahaan yang diduga membakar lahan sudah tepat. Tindak tegas korporasi penyebab kebakaran. Perangkat hukum untuk menjerat para pembakar hutan itu sudah lengkap. Ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dilengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Perlindungan Hutan.
Sudah sekitar satu dekade negeri ini menjadi "produsen" asap kebakaran hutan. Dampaknya telah menyengsarakan masyarakat di lokasi kebakaran, baik dari segi ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan. Perlu keseriusan untuk lebih komprehensif menanganinya.