Umbu T.W. Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat kini disorot keras oleh publik. Hanya tersisa kurang dari sebulan masa kerja, kinerja para wakil rakyat di Senayan itu tak begitu bagus. Dari target 189 pembahasan rancangan undang-undang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, mereka baru mampu menyelesaikan 77 rancangan (40 persen).
Tidak produktifnya parlemen itu juga sebanding dengan kualitas legislasi yang dihasilkannya. Sejumlah rancangan yang telah ditetapkan menjadi undang-undang pun kerap kandas saat diuji material di Mahkamah Konstitusi. DPR sepertinya masih meremehkan peran determinasinya dalam menggodok rancangan yang berkualitas. Padahal rancangan itu merupakan instrumen hukum untuk menjawab berbagai persoalan di masyarakat.
Namun, entah mendapat wangsit dari mana, tiba-tiba mereka merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi yang sudah memperoleh kepercayaan tinggi dari masyarakat itu-dibanding DPR yang selalu mendapat kepercayaan rendah-justru mau dilemahkan kewenangannya. Tidak mengherankan jika publik akhirnya beranggapan bahwa DPR hanya peduli pada kepentingan kelompoknya yang terus "terancam" oleh operasi tangkap tangan KPK.
Sejak awal rakyat berharap ada proses politik yang konstruktif dari para wakil rakyat sebagai garda terdepan dalam mengeliminasi korupsi, termasuk menutup ruang-ruang kemalasan eksekutif dan mendirigenkan irama kerja kekuasaan agar benar-benar koheren dengan kepentingan rakyat, sebagaimana pesan Presiden Joko Widodo. Dalam soal pembuatan legislasi, jika mau jujur, ada semacam "aji mumpungisme" yang melekat dalam pikiran politikus di Senayan, berupa semacam eskapisme terselubung bahwa kalaupun undang-undang itu kelak tak selaras dengan konstitusi dan aspirasi murni rakyat, toh ada MK yang akan mengujinya. Jadi, logikanya: membuat undang-undang dengan kualitas minimal dan membiarkan MK yang menilai atau memperbaikinya.
Hal itu membuktikan bahwa para penghuni Senayan tidak memiliki ketajaman kapasitas dan intuisi politik dalam menyerap dan mengartikulasikan denyut nadi kepentingan rakyat. Prolegnas tak lebih sebagai program ritual politik yang dapat ditransaksikan. Jangan heran, patologi rendahnya kinerja DPR, khususnya dalam aspek legislasi, meningkat setiap tahun.
Minusnya kapasitas DPR sejatinya bisa cepat dieliminasi di hulu dengan menciptakan prakondisi politik meritokratis di dalam proses perekrutan hingga proses pemilihan oleh rakyat. Sayangnya, di situ kita justru menemukan longgarnya proses politik yang membuat kontrol terhadap seleksi para wakil rakyat yang memenuhi kompetensi menjadi melempem. Akibatnya, di hilir kita selalu sibuk mengurai masalah yang sama dari waktu ke waktu plus saling mencari "kambing hitam" atas minimnya kinerja lembaga legislatif.
Andai para legislator mampu bersalin diri menjadi aktor politik yang subtil dan memiliki kesadaran autokritik dalam menghormati mandat rakyat, tentu persoalan klasik seperti itu tidak terus terjadi. Masalahnya, anggota Dewan tidak punya kemauan untuk membunuh pragmatismenya. Misalnya, salah satu penyebab rendahnya kinerja anggota DPR dalam fungsi legislasi tidak lain adalah karena longgarnya ketentuan undang-undang soal rapat. Dalam Pasal 143 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR disebutkan, pembahasan rancangan undang-undang maksimal dilakukan tiga kali masa sidang. Tapi justru di ayat itu diatur pula adanya perpanjangan waktu pembahasan karena pertimbangan permintaan tertulis pimpinan, pimpinan badan legislasi, atau pimpinan panitia khusus.
Akibatnya, pimpinan dan anggota DPR mudah menggunakan celah ketentuan itu untuk memulur-mungkretkan pembahasan rancangan undang-undang prioritas, termasuk malas bersidang membahas rancangan dengan alibi mengunjungi daerah pemilihan atau karena sudah tidak terpilih sebagai anggota DPR periode berikutnya.
Sayangnya, di ujung masa kerjanya, DPR justru malah terlihat bernafsu meloloskan berbagai rancangan regulasi strategis, seperti RUU KPK (yang sudah diloloskan) dan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tanpa mendengar sedikit pun aspirasi publik. Melihat bergemingnya sikap Senayan di tengah riuhnya arus penolakan rakyat terhadap pembahasan rancangan tersebut, jangan heran jika rakyat menyimpulkan bahwa DPR kita telah offside dan tengah terjebak dalam pusaran maut kepentingan oligarkis yang pekat dengan konspirasi.
Para penghuni Senayan tersebut seolah-olah tertawan oleh hipnotis ideologi sempit kekuasaan dan fulus, sehingga tak sedikit pun menyisakan nurani dan mata hatinya bagi perjuangan mewujudkan nilai kemaslahatan bersama. Ketimbang terus memproduksi cibiran dan kecaman rakyat, DPR sebaiknya segera menyetop blunder politiknya dengan berhenti meloloskan rancangan undang-undang yang bersifat strategis dan sensitif terhadap masa depan rakyat. Jangan pernah melawan arus besar demokrasi yang kini bergerak karena rakyat tak akan sungkan-sungkan untuk membangun pengadilannya bagi para politikus yang mengangkangi mandat dan kepercayaan rakyat.