Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Negara Hukum Para Bandit

image-profil

image-gnews
Ratusan Mahasiswa menggelar aksi menolak RUU KUHP dan UU KPK yang baru di deoan gerbang pintu gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis, 19 September 2019. Dalam aksi tersebut mereka menolak RKUHP dan UU KPK yang baru disahkan. TEMPO/M Taufan Rengganis
Ratusan Mahasiswa menggelar aksi menolak RUU KUHP dan UU KPK yang baru di deoan gerbang pintu gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis, 19 September 2019. Dalam aksi tersebut mereka menolak RKUHP dan UU KPK yang baru disahkan. TEMPO/M Taufan Rengganis
Iklan

Petrus Richard Sianturi
Kandidat Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM

Skeptisisme I. Wibowo soal demokrasi di Indonesia lewat tulisannya, "Demokrasi untuk Indonesia?", 16 tahun lalu, kini harus dipertimbangkan kembali dengan serius. Wibowo memberikan semacam kritik tajam atas praktik demokrasi yang justru kontraproduktif dalam kehidupan masyarakat.

Baca Juga:

Dari empat tesis yang dipaparkan Wibowo (2003), ada dua tesis yang paling pas untuk mendudukkan konsep demokrasi dengan konsep negara hukum yang sekarang seperti tidak ada harganya lagi, yaitu tesis Mancur Olson dan Noreena Hertz.

Tesis Olson, seperti dipaparkan dalam Dictatorship, Democracy, and Development (2003), menyatakan adanya bandit-bandit mengembara (roving bandits) dan bandit-bandit tidak mengembara (stationary bandits). Mengikuti Olson, Wibowo menerangkan bahwa setelah kejatuhan Uni Soviet yang otoriter, kekuasaan diambil alih oleh dua kelas bandit itu. Mereka yang suka menjarah habis kekayaan negara (bandit mengembara) karena kekuasaan mereka segera hilang dan mereka yang merasa kekuasaannya tidak terancam, termasuk bandit yang tidak menjarah habis tapi tetap mengontrol keuntungan baginya, misalnya lewat upeti (bandit tidak mengembara).

Seperti dikatakan Hertz, meskipun proses demokrasi memungkinkan rakyat memilih, misalnya wakil rakyatnya, toh setelah terpilih, mereka "malah sibuk menjadi pelayan bos-bos perusahaan multinasional". Itu membuat banyak kebijakan diambil hanya untuk menguntungkan perusahaan-perusahaan dan mempersulit masyarakat dengan munculnya kemiskinan, kesenjangan, atau kerusakan lingkungan.

Skeptisisme Wibowo mungkin juga menjadi skeptisisme masyarakat kebanyakan saat ini. Belakangan ini, akrobat-akrobat politik yang dilakukan baik anggota Dewan Perwakilan Rakyat maupun pemerintah, misalnya dalam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti menggambarkan dengan konkret kedua tesis tersebut.

Satu sinyal jelas: rakyat dianggap tak perlu. Saat ini, jelas terlihat bahwa para penyelenggara negara, yang dipilih secara demokratis oleh rakyat, seolah-olah mengabaikan sekaligus menantang rakyat. Revisi UU KPK dan rencana pengesahan rancangan KUHP dilakukan seperti tanpa mempedulikan partisipasi rakyat (publik), yang menjadi syarat utama di ruang publik demokratis. Artinya, jika dipahami secara a contrario, dengan meminjam konsep Hannah Arendt dalam The Human Condition, bahwa ruang publik adalah tempat (locus) bagi partisipasi publik/warga negara, saat ini ruang publik itu sudah ditutup dan prinsip demokrasi diabaikan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila partisipasi rakyat seperti tidak ada harganya, mengapa kita bicara tentang demokrasi tapi rakyat tidak bisa apa-apa? Negara ini seolah-olah hanya boleh dijalankan oleh Senayan dan Istana, yang terlihat dari keputusan-keputusan pragmatis mereka. Kita terkejut bahwa revisi UU KPK tiba-tiba disahkan secepat kilat, bahkan saat DPR belum bisa menjawab pertanyaan soal apa urgensinya.

Dalam situasi seperti ini, kita juga bisa bertanya, lalu demokrasi itu sebenarnya bagaimana? Apakah benar bahwa dampak buruk demokrasi, seperti pada dua tesis yang disebutkan sebelumnya, juga termasuk apa yang terjadi pada demokrasi Indonesia saat ini? Kalaupun Olson benar, tidakkah yang terjadi saat ini memang memperlihatkan bahwa hukum di negara ini sebenarnya telah dijalankan semata oleh para bandit (entah yang mengembara atau tidak)? Apakah benar demokrasi adalah bentuk terbaik yang bisa dipilih dalam sebuah usaha membangun negara hukum yang ideal seperti dicita-citakan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945?

Proses perancangan dan pengesahan undang-undang, misalnya, bisa menjadi cara untuk menguji konsep demokrasi yang kini kita jalankan. Proses pengesahan revisi UU KPK yang simsalabim, termasuk rancangan KUHP yang segera akan dipaksakan disahkan, tidak bisa dibantah memang hanya untuk mengakomodasi kepentingan pihak-pihak tertentu. Misalnya, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang sangat krusial untuk disahkan, justru tak dipedulikan. Mungkinkah, seperti apa yang ditesiskan Hertz, para "wakil rakyat" itu lebih mendengarkan suara-suara "bos-bos" yang memegang kendali perekonomian besar, seperti terlihat dalam Pasal 48 rancangan KUHP yang mempersulit korporasi jahat dihukum?

Jadi, siapakah bandit-bandit yang mengkooptasi, mengerdilkan, dan mempermainkan hukum itu? Mereka adalah pihak, yang tanpa memikirkan kepentingan yang lebih besar, menggunakan kekuasaan yang mereka miliki melalui demokrasi tapi malah menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Sistem demokrasi, yang memungkinkan hukum mendapat tempat dalam sistem kenegaraan, telah membuat hukum itu sendiri hilang artinya karena dijalankan para bandit. Karena itu, jelas sekali jika demokrasi ini mau diselamatkan, kita sendiri, para demos, harus melawan para bandit dan segala kepentingan jahatnya. Setelah pengesahan revisi UU KPK yang mengejutkan itu, jangan lagi rancangan KUHP kembali mengejutkan kita.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.