R. Yando Zakaria
Pendiri dan peneliti pada Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat
Bagian kedua Rancangan Undang-Undang Pertanahan bertajuk "Hubungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Tanah" (naskah versi Panitia Kerja Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 9 September 2019). Rancangan itu seolah-olah peduli terhadap persoalan pertanahan yang berkaitan dengan masyarakat adat.
Perkara pengakuan hak masyarakat adat atas tanah di negeri ini sudah akut dan berdarah-darah. Tidak sedikit konflik terbuka yang sudah dan tengah terjadi. Tidak terkecuali dalam proyek-proyek pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam lima tahun terakhir.
Namun pengaturan yang ditawarkan RUU, yang kini mendapat penolakan dari berbagai kalangan itu, terkesan sekadar basa-basi. Ini untuk tidak mengatakan RUU tersebut justru dimaksudkan sebagai alat yang akan semakin menyingkirkan masyarakat adat lebih jauh lagi.
Misalnya, Pasal 1 ayat 11 menyatakan bahwa "Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang memiliki identitas budaya yang sama, hidup secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal-usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat milik bersama, serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Padahal Zakaria (2018 dan 2019) telah menunjukkan bahwa salah satu penyebab munculnya fenomena "banyak kebijakan, miskin perubahan" setelah penegasan pengakuan negara atas hak masyarakat adat melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 adalah tidak cukupnya definisi tersebut untuk mengakomodasi kompleksitas susunan masyarakat adat.
Definisi itu mengasumsikan hanya ada satu susunan masyarakat adat dalam banyak konteks kebudayaan suku (bangsa). Pada kenyataannya, misalnya pada suku Minangkabau, susunannya bisa nagari atau rajo. Ada pula paruik, kaum, dan suku. Ketiga susunan inilah yang membentuk nagari atau rajo. Dengan aturan itu, susunan yang mana yang harus dijadikan peraturan daerah agar tanah adat mereka diakui negara?
RUU Pertanahan juga memandang pengelolaan hak ulayat dilakukan oleh suatu susunan masyarakat adat tunggal, padahal tidak demikian. Di Minangkabau, tiap kaum, suku, nagari, atau rajo memiliki ulayatnya sendiri, lengkap dengan pengaturan tersendiri pula. Ketika seorang ninik mamak diangkat menjadi anggota suatu kerapatan adat nagari, yang tugas utamanya adalah mengurus ulayat nagari, tidak serta-merta ia bisa ikut campur soal ulayat kaum atau ulayat sukunya, meski ia merupakan anggota dari kaum atau suku tersebut.
Dengan kata lain, para perumus RUU Pertanahan menyamaratakan kapasitas beragam susunan masyarakat adat. Demikian pula halnya dengan pengertian hak ulayat. Padahal, dalam konteks orang Minangkabau, hanya nagari dan rajo-lah yang memiliki kewenangan publik, sedangkan pada ulayat kaum dan suku hanya terkandung hak-hak yang bersifat privat (Maria Soemardjono, 2018).
Pengaturan yang gebyah-uyah ini terbaca pada Pasal 5 ayat 4, yang menyatakan bahwa bentuk pengakuan dan perlindungan pemerintah terhadap hak ulayat dilakukan melalui peraturan daerah. Tidak peduli apakah ulayatnya publik atau privat, semuanya harus ditetapkan melalui peraturan daerah. Ini pun hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari menteri terkait.
Padahal RUU Pertanahan versi yang lebih awal telah mengakomodasi keragaman ulayat. Tanah ulayat yang bersifat publik-privat ini hanya akan dicatat dalam buku pertanahan dan tidak dikeluarkan sertifikatnya.
Pokok pengaturan tentang hubungan masyarakat adat dengan tanahnya ada pada Pasal 5, yang mengatur syarat dan mekanisme pengakuan hak masyarakat adat atas tanah serta syarat pengakuan masyarakat hukum adat itu sendiri. Pengakuan atas hak ulayat itu harus dilakukan melalui penetapan peraturan daerah. Itu pun setelah mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri. Pengaturan ini jauh lebih buruk ketimbang sebelumnya.
Lebih parah lagi, pengakuan itu dapat berjalan sepanjang "tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan", yang membuat pasal-pasal pengakuan sebelumnya menjadi hampa. Akibatnya, pasal ini tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan menyelesaikan masalah, sebagaimana yang dijanjikan dalam penjelasan umum RUU tersebut.
Mengapa klausul itu bermasalah? Faktanya, banyak undang-undang lain yang norma-normanya tidak sesuai dengan asas pengakuan hak masyarakat adat. Dengan demikian, perumus kebijakan telah kalah oleh pengaruh sektor lain dan gagal memenuhi janjinya sebagai undang-undang yang akan menyelesaikan konflik kebijakan di sektor agraria. Dualisme atau lebih (baca: tumpang-tindih) hukum ihwal urusan agraria dan sumber daya alam, sebagaimana yang terjadi pada hari ini, akan terus berlanjut.
Tampaknya, RUU Pertanahan ini memang tidak hendak menyelesaikan masalah tumpang-tindih pengaturan hak masyarakat adat. Padahal bagian Penjelasan Umum telah mengakui terjadinya tumpang-tindih pengaturan ini dan ingin menatanya, mempertegas penafsiran, serta menjadi jembatan untuk meminimalkan ketidaksinkronan antara Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan lain.