Laras Susanti
Dosen Fakultas Hukum UGM
Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan semakin meresahkan. Indeks Standar Pencemar Udara di Pekanbaru menunjukkan kondisi level berbahaya (Tempo, 2019). Titik kebakaran yang meluas semakin sulit diatasi di tengah musim kemarau. Dokumentasi warga sekitar yang tersebar di media sosial menggambarkan penderitaan rakyat, dari terhambatnya transportasi karena jarak pandang yang terbatas hingga terganggunya kesehatan, seperti infeksi saluran pernapasan atas.
Peristiwa serupa sebelumnya terjadi pada 2015 di Kalimantan Tengah. Kala itu, diperkirakan 2,6 hektare lahan dan hutan gambut terbakar. Dampak kebakaran meluas sampai ke negara sekitar. Menggunakan mekanisme gugatan warga negara, sejumlah warga menggugat Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah.
Dalam gugatannya, masyarakat menuntut tergugat atas perbuatan melawan hukum yang merugikan warga negara. Pengadilan Negeri Palangka Raya melalui Putusan Nomor 118/Pdt.G.LH/2016/PN.Plk. mengabulkan sebagian tuntutan mereka. Pemerintah selaku tergugat terus melakukan upaya hukum sampai dengan kasasi di Mahkamah Agung. Bertindak sebagai benteng terakhir keadilan, MA menolak permohonan kasasi pemerintah.
Dengan ditolaknya permohonan kasasi, putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya menjadi sumber hukum yang harus ditaati oleh para tergugat. Artikel ini mengulas isi amar putusan tersebut. Putusan itu menjadi sumber hukum mengikat bagi para pihak dan menggambarkan apa yang seharusnya dilakukan pihak yang kalah. Pada putusan tersebut, majelis hakim menyatakan pemerintah dan parlemen daerah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum mereka dengan fokus utama pembentukan hukum, pengembalian ke keadaan semula, dan pertanggungjawaban kepada publik.
Pertama, dalam hal pembentukan hukum, presiden diperintahkan menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan melibatkan masyarakat. Presiden diperintahkan menerbitkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden tentang pembentukan tim gabungan pemerintah yang berfungsi meninjau ulang dan merevisi izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan; menegakkan hukum lingkungan perdata, pidana, maupun administrasi terhadap perusahaan-perusahaan yang lahannya terbakar; membuat peta jalan pencegahan dini; penanggulangan; dan pemulihan korban kebakaran hutan.
Menteri Lingkungan diperintahkan segera merevisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional. Menteri Agraria harus membentuk, melatih, menyediakan peralatan, dan mendukung tim khusus pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang beranggotakan masyarakat. Menteri Agraria dan Gubernur Kalimantan Tengah diperintahkan membentuk peraturan daerah tentang perlindungan kawasan lindung.
Kedua, dalam hal pengembalian ke keadaan semula, presiden, Menteri Lingkungan, Menteri Agraria, dan Menteri Kesehatan diperintahkan segera mendirikan rumah sakit di Kalimantan Tengah yang khusus menangani penyakit paru dan penyakit lain akibat asap yang dapat diakses gratis oleh korban. Mereka juga diperintahkan segera membuat tempat evakuasi ruang bebas pencemaran guna mengantisipasi potensi kebakaran hutan yang mengakibatkan pencemaran udara.
Ketiga, dalam hal pertanggungjawaban kepada publik, Menteri Lingkungan dan Menteri Agraria dihukum untuk mempublikasikan lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya; mengembangkan sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan dan perkebunan di Kalimantan Tengah; dan mengumumkan dana investasi pelestarian hutan dari perusahaan-perusahaan pemegang izin kehutanan.
Rincian hukuman tersebut menggambarkan bahwa pemerintah dan parlemen Kalimantan Tengah kalah. Mereka terbukti tidak maksimal menjalankan tugas dan wewenang mereka yang menimbulkan penderitaan rakyat.
Putusan tersebut menjadi preseden baik. Tidak hanya memberikan keadilan bagi rakyat dan lingkungan, putusan itu membuktikan bahwa hak gugat warga bisa diterima di negeri ini. Negara sebagai pelaksana diwajibkan untuk memenuhinya. Nyatanya, pada akhir Juli lalu, Menteri Lingkungan menyatakan akan mengajukan peninjauan kembali ke MA (Tirto.id, 2019). Sampai saat artikel ini ditulis, tidak terdapat kabar lebih jauh ihwal rencana tersebut. Sedihnya, tak juga ada kabar mengenai pelaksanaan putusan itu.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sejak 1997 itu kini kembali menyesakkan napas masyarakat. Tak putus mereka memohon pertolongan negara. Mau mengelak ke mana lagi? Mau berdalih apa lagi? Presiden Jokowi, sang kepala negara dan kepala pemerintahan, harus bersikap. Jika tindakan baik yang diperintahkan putusan pengadilan saja tidak dipatuhi, wajar jika kami menyatakan presiden telah ingkar janji.