KEPUTUSAN pemerintah untuk menaikkan tarif cukai dan harga jual rokok merupakan langkah yang tepat untuk menekan angka perokok, yang dampak negatifnya juga menyerang orang yang tidak merokok, sekaligus meningkatkan pemasukan negara. Secara filosofis, cukai merupakan sin tax alias pajak dosa. Cukai dan harga jual yang tinggi akan membuat konsumen berpikir ulang sebelum membeli rokok.
Pada akhir pekan lalu, pemerintah menaikkan cukai rokok 23 persen, berlaku sejak 1 Januari 2020. Kenaikan itu mendongkrak harga jual eceran rokok meningkat 35 persen dari harga jual saat ini. Hitung-hitungannya, harga rata-rata sigaret kretek mesin isi 20 batang yang Rp 25 ribu naik menjadi sekitar Rp 34 ribu per awal tahun depan. Meski ditentang oleh industri dan perokok, kenaikan tersebut masih sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Cukai yang membatasi kenaikan di angka 57 persen. Terlebih, tahun lalu tidak ada peningkatan tarif cukai rokok.
Cukai merupakan instrumen penting dalam pengendalian konsumsi rokok. Saat ini sekitar 70 persen warga laki-laki Indonesia merupakan perokok. Jumlah tersebut tak kunjung berkurang lantaran pertumbuhan perokok baru yang tinggi dari kelompok perempuan dan anak-anak. Masyarakat miskin menjadi kelompok paling rentan karena pengeluaran rokok menjadi prioritas kedua setelah beras, mengalahkan keperluan pendidikan dan kesehatan.
Empat ribu zat kimia yang terkandung dalam rokok berhubungan langsung dengan kematian 200 ribu orang setiap tahun akibat kanker, serangan jantung, dan stroke. Tapi niat pemerintah mengendalikan rokok lewat Undang-Undang Kesehatan Tahun 2009, termasuk pembatasan iklan dan peringatan di bungkus rokok, sia-sia karena harga yang murah. Di kaki lima, rokok kretek dapat diperoleh secara ketengan dengan harga Rp 1.000 per batang, lebih murah dari bayaran masuk WC umum.
Indonesia tetap menjadi surga rokok dan perokok. Harga rata-rata Rp 34 ribu per bungkus pasca-kenaikan mungkin belum dapat membuat perokok kapok. Di Thailand, harga sebungkus rokok putih isi 20 mencapai Rp 59 ribu dan di Malaysia sekitar Rp 57 ribu. Sedangkan di Singapura, barang yang sama dibanderol setara Rp 144 ribu.
Terdapat korelasi langsung antara harga dan tingkat perokok. Pada 2000, sebanyak 24,5 persen orang dewasa Australia merupakan perokok. Tapi, semenjak harga rokok melambung-kini harga sebungkus rokok putih isi 20 setara Rp 289 ribu-perokok di negeri itu tinggal 14 persen.
Semangat pengenaan cukai adalah pembatasan barang yang berdampak negatif pada masyarakat dan lingkungan. Tidak hanya produk olahan tembakau, tapi juga minuman beralkohol dan etanol. Jika ingin menurunkan jumlah perokok secara signifikan, harga rokok mesti dibuat jauh lebih tinggi lagi. Sejumlah studi menunjukkan batas yang membuat perokok Indonesia berpikir ulang untuk membeli rokok adalah Rp 60-70 ribu per bungkus.
Jika angka perokok berhasil ditekan lewat kenaikan harga, pekerjaan rumah selanjutnya adalah memastikan mantan perokok tidak beralih ke produk lain. Misalnya, rokok elektrik yang dampak kesehatannya masih menjadi perdebatan.